Masih Adanya Suap yang Terjadi di MA, Apakah Mengindikasikan Masih Eksisnya Mafia Hukum?

Sudrajat Dimayati
Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) Sudrajad Dimyati, Jumat 23 September 2022. (Photo/Istimewa)

Semarang, Idola 92.6 FM – Penangkapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap sejumlah orang di Jakarta dan Semarang terkait korupsi pengurusan perkara di Mahkamah Agung kembali mengagetkan publik. Apalagi, salah satu pihak yang terlibat dalam kasus korupsi ini adalah Hakim Agung, Sudrajat Dimayati.

Operasi tangkap tangan ini menjadi puncak gunung es fenomena mafia peradilan di MA, mengingat, dugaan korupsi pengurusan perkara di MA bukan sekali ini terjadi. Pada tahun 2005, pegawai MA, Pono Waluyo dan temannya ditangkap  KPK terkait suap perkara. Setelah itu, Kepala Subdirektorat Kasasi Perdata MA, Andri Tristano Sutrinso terjerat kasus korupsi tahun 2016. Kemudian, mantan Sekretaris MA, Nurhadi menerima gratifikasi terkait penanganan perkara dan pencucian uang.

Kalangan pegiat anti korupsi menganggap bahwa terdapat hubungan antara preseden “discount vonis” yang beberapa kali terjadi di MA dengan operasi tangkap tangan KPK yang melibatkan hakim MA Rabu lalu. Diketahui, dalam OTT tersebut, KPK menetapkan 10 orang sebagai tersangka. Empat di antaranya merupakan pemberi suap, 5 orang merupakan pegawai MA, dan seorang Hakim Agung, Sudrajad Dimyati.

Korelasi tradisi koruptif dalam penyelesaian perkara di MA itu didasarkan pernyataan salah satu tersangka yang juga seorang pengacara Yosep Parera. Yosep Parera mengakui ada pihak yang menawarkan untuk membantu pengurusan sebuah perkara di MA dibarengi dengan permintaan sejumlah uang.

Lantas, masih adanya suap yang terjadi di MA, apakah mengindikasikan masih eksisnya mafia hukum? Apakah hal itu berkorelasi dengan “discount hukuman” bagi koruptor? Maka, lalu apa saja upaya yang mesti dilakukan?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, di antaranya: Bivitri Susanti (Ahli Hukum Tata Negara/ Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera), Alvin Nicola (Peneliti Transparency International Indonesia (TII)), dan Prof Topane Gayus Lumbuun (Mantan Hakim Agung). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: