Memahami Dihilangkannya Penyebutan Jenjang Satuan Pendidikan dalam Draf RUU Sisdiknas: Apa Plus-Minusnya?

Ilustrasi
Ilustrasi/REPUBLIKA

Semarang, Idola 92.6 FM – Setelah sebelumnya mendapat sorotan karena menerapkan metode “sapu jagat” atau omnibus law, kini RUU Sistem Pendidikan Nasional atau RUU Sisdiknas kembali menjadi perhatian publik.

Hal itu dipicu Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-ristek)tidak lagi menyebutkan jenjang satuan pendidikan dasar maupun menengah seperti Madrasah, SD, SMP, SMA, hingga SMK dalam draft RUU Sisdiknas. Mereka beralasan, pengaturan soal tingkat pendidikan cukup di level kebijakan teknis sehingga tidak perlu di tingkatan Undang-undang. Selain itu, RUU Sisdiknas masih di tahap pembahasan tahap revisi draf awal dan akan banyak masukan yang diterima.

Kebijakan itu pun menuai protes banyak pihak. Salah satunya dari PP Muhammadiyah. Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah-Abdul Mu’ti khawatir, penghapusan diksi madrasah bakal menimbulkan berbagai masalah baru. Ia menyebut setidaknya ada tiga masalah yang berpotensi muncul. Pertama, yakni masalah dikotomi sistem pendidikan nasional. Kedua, adanya kesenjangan mutu pendidikan. Ketiga, dapat terjadi dikotomi pendidikan nasional yang berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa.

Lantas, memahami polemik dihilangkannya  penyebutan jenis satuan pendidikan dasar maupun menengah dalam draft RUU Sisdiknas,  apa sebenarnya substansi di baliknya? Apa pula plus-minusnya? Ini sebuah langkah maju atau justru ini berimplikasi pada masalah dikotomi sistem pendidikan nasional—seperti dikhawatirkan beberapa pihak?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, di antaranya: Satriwan Salim (Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G)), Prof Cecep Darmawan (Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, sekaligus pengamat kebijakan pendidikan), dan Fahmi Alaydroes (Anggota Komisi X DPR RI). (her/yes/ao)

Dengarkan podcast diskusinya: