Setelah 4 Tahun Penantian, PP Pelindungan ABK Niaga Diterbitkan

ABK yang menggugat Presiden
Tiga mantan ABK yang pada 31 Mei lalu menggugat Presiden RI secara administratif ke PTUN mengaku lega dan berharap diterbitkannya PP Penempatan dan Pelindungan ABK Migran ini akan menjadi tahap awal pembenahan tata kelola penempatan dan pelindungan ABK yang bekerja di kapal penangkan ikan asing. Ketiga mantan ABK tersebut adalah Jati Puji Santoso dan Rizki Wahyudi asal Jawa Tengah serta Pukaldi Sassuanto asal Bengkulu. (Photo/Istimewa)

Jakarta, Idola 92.6 M – Penantian selama lebih dari empat tahun terbayar sudah. Pemerintah Indonesia akhirnya mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Penempatan dan Pelindungan ABK sebagai peraturan turunan Undang-undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

Presiden Joko Widodo menandatangani PP soal pelindungan awak kapal niaga/perikanan migran pada Rabu, 8 Juni lalu. Hal itu sebagai upaya menghapus perbudakan anak buah kapal (ABK).

PP itu adalah PP Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran. PP itu terbit kurang lebih 4 tahun lebih sejak Undang-undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

“Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran harus dilindungi dari perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia,” demikian bunyi penjelasan PP 22/2022 seperti dikutip dari detikcom, Jumat (10/6).

Beberapa poin dalam PP tersebut antara lain: untuk awak kapal niaga migran dan awak kapal perikanan migran yang bekerja secara perseorangan harus melaporkan: rencana keberangkatan secara daring atau luring kepada Dinas Kabupaten/Kota dan kedatangan kepada Perwakilan Republik Indonesia secara daring melalui Portal Peduli Warga Negara Indonesia atau luring.

Kemudian, syarat menjadi awak tersebut di antara lain: minimal usia 18 tahun, memiliki kompetensi, sehat jasmani dan rohani, terdaftar dan memiliki nomor kepersertaan jaminan sosial, dan memiliki dokumen lengkap.

Sementara itu, terkait penempatan awak kapal niaga migran dan awak kapal perikanan migran oleh BP2MI dilaksanakan perjanjian tertulis antara lain: Pemerintah RI-Pemerintah negara tujuan dan Pemerintah RI (menteri/BP2MI) dengan pemberi kerja/prinsipal. Tahapan penempatannya itu melalui: memberian informasi; pendaftaran; seleksi; pemeriksaan kesehatan dan psikologi; penandatanganan perjanjian penempatan; pendaftaran kepesertaan jaminan sosial; pelaksanaan orientasi pra pemberangkatan; penandatanganan PKL; dan pemberangkatan.

Sedangkan, perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia sedikitanya harus memenuhi syarat: berbadan hukum; memiliki modal disetor minimal Rp5 miliar; deposito ke bank pemerintah minimal Rp1,5 miliar untuk jaminan; dan memiliki sarana dan prasarana.

ABK Penggugat Presiden: Perjuangan Belum Berakhir

Sementara itu, tiga mantan ABK yang pada 31 Mei lalu menggugat Presiden RI secara administratif ke Pengadilan Tata Usaha Negara mengaku lega mengapresiasi langkah pemerintah yang telah mengesahkan Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran. Mereka berharap PP ini akan menjadi tahap awal pembenahan tata kelola penempatan dan pelindungan ABK yang bekerja di kapal penangkan ikan asing.

Ketiga mantan ABK tersebut adalah Jati Puji Santoso dan Rizki Wahyudi asal Jawa Tengah serta Pukaldi Sassuanto asal Bengkulu. Ketiganya pernah bekerja di kapal ikan asing dan mengalami kekerasan selama bekerja dan hingga kini masih menunggu haknya dibayarkan.

Mewakili kedua rekannya, Pukaldi mengungkapkan kegembiraan atas kemenangan kecil dari perjalanan panjangnya memperjuangkan hak dirinya dan ABK lain. Dengan disahkannya PP Penempatan dan Pelindungan ABK, ia mengaku sangat senang.

“Berarti perjuangan saya dan teman-teman selama ini tidak sia-sia. Kami berharap pemerintah juga segera mengambil langkah tegas agar pihak-pihak yang bertanggung jawab dapat membayarkan hak gaji saya yang belum terbayarkan sampai sekarang,” kata Pukaldi dalam siaran persnya kepada radio Idola, Jumat (10/06).

Pukaldi mengungkapkan, ia bekerja sebagai ABK selama 2,5 tahun, tapi hak gaji saya sama sekali belum terbayarkan. “Perjuangan belum berakhir,” ujar Pukaldi.

PP Penempatan dan Pelindungan ABK disahkan bertepatan dengan hari pertama sidang gugatan administratif yang berlangsung di Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Jakarta, di mana perwakilan pemerintah tidak hadir.

Kuasa hukum Viktor Santoso Tandiasa berharap perwakilan pemerintah dapat hadir di sidang kedua pada Rabu, 15 Juni, dan menyampaikan secara resmi bahwa objek yang digugat telah dikabulkan. Dengan demikian gugatan administratif dapat dicabut.

“Namun demikian perjuangan tidak berhenti di situ. Kita akan terus menempuh upaya lain untuk memperjuangkan hak-hak para penggugat yang belum diberikan. Selain itu, kita juga perlu mengkaji isi dari PP ini guna memastikan bahwa PP ini benar-benar dapat memberikan pelindungan bagi para ABK migran asal Indonesia,” tutur Viktor.

Berharap Negara Benar-benar Hadir

Langkah hukum yang dilakukan para ABK ini didukung oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan Greenpeace Indonesia. Ketua Umum SBMI Hariyanto Suwarno menjelaskan bahwa upaya hukum menggugat presiden ke PTUN memang harus dilakukan karena pemerintah telah abai, tidak menjalankan amanat Pasal 64 dan Pasal 90 UU PPMI.

“Faktanya, Presiden baru mau menandatangani PP Penempatan dan Pelindungan ABK setelah tiga mantan ABK perikanan mengajukan gugatan ke PTUN. Artinya, untuk perbaikan tata kelola penempatan dan pelindungan ABK, SBMI bersama Greenpeace Indonesia dan jaringan memang harus terus mendorong dan mendesak pemerintah agar menjalankan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang diamanatkan UU,” jelas Hariyanto.

Senada dengan Hariyanto, juru kampanye laut Greenpeace Indonesia Afdillah berharap mulai saat ini dan seterusnya pemerintah bisa benar-benar hadir dalam upaya pelindungan para ABK migran Indonesia. Menurutnya, sikap lamban pemerintah dalam mengesahkan PP Penempatan dan Pelindungan ABK hingga adanya gugatan dari ABK ini menjadi preseden buruk, betapa pemerintah perlu didesak melalui meja hijau dulu untuk akhirnya mengambil langkah.

“Tentu kita senang PP ini diterbitkan, walaupun tetap ada kekecewaan pada pemerintah,” ujar Afdillah.

Menurut Afdillah, PP ini harusnya sudah diundangkan sejak beberapa tahun lalu, tapi kenyataannya terlambat dan telah berdampak buruk bagi keadaan para ABK.

“Meski begitu, hadirnya PP tersebut tetap menjadi kemenangan signifikan dari kampanye kita untuk mendorong Indonesia dan negara-negara lain yang berada dalam lingkaran bisnis perikanan global, untuk bergerak ke arah yang sama mengakhiri praktek perbudakan di laut dan menegakkan pengelolaan perikanan yang lebih bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan,” tandas Afdillah. (her/tim)