ABK Migran Darurat Perbudakan, Ke Mana Pemerintah?

Kasus perbudakan yang menimpa ABK migran terus mencuat. Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat, sebanyak 45 ABK Indonesia meninggal di tengah lautan. Dari ke-45 orang itu, sebanyak 21 orang berasal dari Jawa Tengah! Lalu, ke mana Pemerintah Provinsi Jawa Tengah?

Perbudakan ABK
ilustrasi/alenia.id

Simak podcast liputannya:

Semarang, Idola 92.6 FM – Para ABK yang bekerja di kapal asing kerapkali mendapat perlakuan tidak manusiawi. Kekerasan fisik, mental, jam kerja panjang, makanan kurang layak, sakit tanpa pengobatan memadai, membuat para ABK rentan sakit hingga meninggal di atas kapal. Beberapa di antaranya bahkan terpaksa dilarung ke laut tanpa izin pihak keluarga.

SBMI menyebut, kekerasan yang dialami, kontrak kerja yang tidak jelas, dan tipu daya agen-agen perekrut serta prosedur pengiriman ABK yang tak terbuka, membuat praktik ini disebut “perbudakan modern”.

Catatan SBMI, dari laporan pengaduan kasus dan pemberitaan di media massa, selama tahun 2015 hingga 2021, sebanyak 45 ABK Indonesia meninggal saat bekerja di kapal ikan asing dan 21 di antaranya atau 46,6% berasal dari Provinsi Jawa Tengah.

Selain itu, sepanjang 2021, SBMI menerima sebanyak 188 aduan kasus perbudakan terhadap ABK WNI yang bekerja di kapal ikan berbendera asing. Dengan adanya penambahan 188 kasus ini, maka terhitung total kasus ABK yang ditangani oleh SBMI sejak 2013 hingga saat ini sebanyak 634 kasus. Dari 188 kasus baru tersebut, sebanyak 98 di antaranya berasal dari Jawa Tengah, 43 dari Jawa Barat, dan selebihnya dari berbagai provinsi lain di Indonesia.

Jateng Episentrum Perekrutan ABK Migran

Ketua Umum SBMI Hariyanto Suwarno mengungkapkan, para ABK berasal dari pelbagai daerah di Nusantara. Investigasi SBMI bersama Greenpeace Indonesia menemukan, daerah-daerah yang menjadi kantong perekrutan ABK tersebar di sepanjang pantura, mulai dari Pemalang, Batang, dan Tegal. Tetapi, kantong bisnis penempatannya, berada di Tegal dan Pemalang. Hal itu dikatakan Hariyanto saat diskusi “Stop Perbudakan Modern di Laut” yang diselenggarakan Greenpeace bekerja sama dengan SBMI yang disiarkan di radio Idola Semarang, baru-baru ini.

Daerah Rekrutan ABK Migran
grafis/radioidola.com

“Jawa Tengah darurat! Tidak hanya daerah asal ABK terbesar se-Indonesia, namun juga manning agency atau perusahaan penyalur ABK juga ada di Jawa Tengah,” ujarnya.

Menurut Hariyanto, ada pemiskinan struktural dan tata kelola terkait dengan maraknya kasus perbudakan ABK di kapal asing ini. Salah satunya terkait dengan informasi mengenai lowongan pekerjaan ABK Migran.

“Pemerintah tidak ada (informasi-Red), kemudian pemerintah daerah, apalagi. Mereka belum memberikan informasi itu secara tepat untuk migrasi aman. Informasi itu masih dimiliki oleh para agen, sponsor, calo, manning agency yang “nakal”. Ini soal bisnis penempatan. Semua orientasinya adalah keuntungan. Itulah yang menggelapkan mata. Akhirnya memiskinkan soal informasi,” ujarnya.

Hariyanto melihat, selama ini, pendataan ABK migran juga masih tak jelas. Pemerintah masih belum punya satu data soal jumlah penempatan ABK migran. Padahal, saat ini yang dibutuhkan masyarakat adalah informasi yang jelas soal ABK migran perikanan.

Diungkapkan Hariyanto, di salah satu desa di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, perekrut atau manning agency, justru memanfaatkan aparatur desa sebagai sarana sosialisasi. Mereka memberikan janji-janji manis kepada kepala desa, bahwa para ABK akan mendapat pekerjaan dengan gaji besar. Tetapi faktanya, sampai saat ini di Kabupaten Banyumas masih terus muncul kasus. Sehingga, SBMI mewanti-wanti kepada masyarakat agar berhati-hati dan waspada ketika ada bujuk rayu dari para perekrut, calo, atau bahkan mengakses informasi di media sosial.

“Berhati-hatilah! Tidak hanya kepada masyarakat tetapi juga kepada pemerintah desa, kepada sekolah-sekolah kejuruan di Jawa Tengah. Karena perekrut ini tidak langsung kepada masyaakat. Di bagian tertentu mereka bisa menggunakan kekuatan aparatur desa,” kata Hariyanto.

Penyelamatan Lingkungan = Penyelamatan Kemanusiaan

Sementara itu, Arifsyah Nasution, Ocean Campaign Leader Greenpeace South East Asia, menyatakan, Greenpeace concern pada persoalan perbudakan ABK karena bersinggungan dengan isu lingkungan yakni perburuan ikan ilegal di laut lepas. Eksploitasi terhadap ABK juga acap terjadi bersamaan dengan praktik perikanan ilegal yang mengancam kelestarian laut secara global.

“Ibarat dua keping mata uang. Jadi, ada kegiatan ilegal, fishing-nya, dan juga ada kegiatan perbudakan. Karena kita tahu, stok perikanan dunia sudah mulai berkurang. Banyak negara yang punya kapal—seperti China, Jepang, dan Korea, mereka berlomba-lomba mencari ikan tidak hanya di perairan mereka. Ada istilah penangkapan ikan jarak jauh. Jadi, mereka menangkap ikan di luar wilayah yurisdiksi mereka– di laut lepas ataupun di wilayah yurisdiksi negara lain. Ini yang menyebabkan persoalan ini, semakin berkelindan satu sama lain,” ujar Arifsyah.

Menurut Arifsyah, untuk mengatasi persoalan perbudakan ABK di kapal asing ini, harus dengan pendekatan komprehensif. Tak hanya penyelamatan lingkungan namun juga penyelamatan kemanusiaan. Sehingga, ia berharap, Pemerintah daerah responsif atas persoalan ini.

“Dari sudut pandang Greenpeace sebagai organisasi lingkungan, kami tak hanya bicara penyelamatan lingkungan. Karena sebenarnya, penyelamatan lingkungan adalah penyelamatan kemanusiaan. Kami melihat persoalan ini secara komprehensif. Dan, harapannya, pemerintah daerah, terutama Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, juga harus melihat persoalan ini juga komprehensif. Bukan, semata lempar tanggung jawab antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Kemudian, pemerintah daerah dengan antarinstansi yang ada di Pemerintah daerah. Ini yang ingin kami urai. Mengajak duduk bareng,” tutur Arifsyah.

Disnaker: Dari Sosialisasi hingga Bentuk Satgas

Sementara itu, menanggapi persoalan ABK migran asal Jateng, Sakina Rosellasari, Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Kependudukan (Disnakertransduk) Provinsi Jawa Tengah menyatakan, pemerintah Provinsi Jawa Tengah tak tinggal diam. Pihaknya telah menginiasi Satgas Perlindungan Pekerja Migran un-prosedural. Satgas beranggotakan Disnakertrans Jateng, BP2MI Jateng, Imigrasi, dan Polda Jateng. Hal itu dikatakan Sakina didampingi jajaran BP2MI Jateng saat ditemui Radio Idola Semarang dan beberapa media di kantornya, Senin 30 Mei lalu.

Kasus ABK Migran asal Indonesia
grafis/radioidola.com

Sementara, menyikapi banyaknya kasus ABK Migran asal Jawa Tengah, menurut Sakina, pihaknya bersama dengan BP2MI, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Ketenagakerjaan, baru-baru ini terus melakukan sosialisasi secara daring kepada seluruh kepala desa dan kelurahan di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah.

“Kami melakukan daring, sosialisasi, kepada seluruh kepala desa, kelurahan di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah, untuk memberikan edukasi. Untuk memberikan sosialisasi bahwa warganya kalau ke luar negeri– ini lho, Pak, ada syarat-syarat dan prosedurnya,” ujar Sakina.

Terkait dengan perizinan perusahaan penempatan pekerja migran, Sakina menjelaskan, Disnakertrans Jateng memiliki dua kewenangan, yakni memberikan rekomendasi untuk surat layak Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), dan surat Perizinan rekomendasi untuk kantor cabang Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI).

“Yang pasti kami juga tidak tinggal diam. Jadi, PP No 05 tahun 2021 berkaitan dengan perizinan, itu izin yang ada menjadi kewenangan Disnaker. Ada dua kewenangan Disnaker, yaitu, rekomendasi untuk surat layak Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), dan surat Perizinan rekomendasi untuk kantor cabang Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI). Jadi, hanya itu, dan itu semua, sudah kami proses melalui OSS (Online Single Submision) yang ada di DPMPTSP (Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu),” ujarnya.

Menunggu Payung Hukum (PP) dari UU PPMI

Sakina mengakui, belum adanya Peraturan Pemerintah (PP) Perlindungan ABK migran sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia-UU PPMI–membuat upaya perlindungan terhadap nasib ABK Migran di daerah belum optimal karena belum ada payung hukum yang jelas. Sehingga, kepada warga masyarakat yang berminat menjadi ABK migran, Sakina mengingatkan agar warga waspada dan tidak mudah tergiur iming-iming gaji besar dari manning agency. Mesti dipastikan, apakah pihak agen sesuai prosedur atau justru un-prosedural.

“Tapi yang pasti, kalau un-prosedural itu nggampangke (asal-asalan) semuanya. Pokoknya, sudahlah ndak punya pendidikan, basic-nya, masuk aja, nanti kita training dengan BST (basic safety training-Red) kita sendiri. Gak punya skill nangkap ikan, gak papa. Itu pasti udah (un prosedural-Red). Karena, mau jadi ABK kapal ikan itu sekolahnya lama,” jelas Sakina.

Masih terjadinya kekosongan hukum perlindungan ABK dengan belum adanya PP Perlindungan ABK migran membuat nasib mereka begitu rentan dieksploitasi dan lemah dalam perlindungan hukum. Ketiadaan perangkat hukum yang secara khusus melindungi, membuat nasib para ABK migran bak pepatah, “Lepas dari mulut harimau/ masuk ke dalam mulut buaya”.

Pesan Mantan ABK Migran

Maka, agar tak menyesal, Dika Ardika, mantan ABK asal Kabupaten Kendal yang pernah bekerja di kapal berbendera China itu mengimbau agar anak muda atau siapapun yang mendapat info lowongan kerja ABK migran tak mudah tergiur iming-iming gaji besar.

“Anak muda yang mau ikut kapal perikanan asing (ABK), mending janganlah. Nanti nyesel ujung-ujungnya. Ya, saya tak ingin ada lagi korban lainnya,” pesan Dika yang saat ini bekerja di sebuah perusahaan swasta di Kota Semarang.

Senada, mantan ABK asal Jawa Barat, Yadi berharap, selama belum ada komitmen kuat dari Pemerintah mengenai perlindungan ABK Migran, lebih baik, masyarakat, berpikir seribu kali untuk bekerja menjadi ABK migran.

“Pokoknya ini pengalaman terpahit saya. Kalau misalkan ditanyakan apa yang harus dipersiapkan sekarang, sekarang, sudah banyak media sosial khususnya facebook, itu banyak sekali yang menawarkan untuk menjadi ABK. Setelah saya menjadi korban, karena memang tidak ada payung hukumnya. Kalau boleh dikatakan, apa yang harus dipersiapkan, karena tidak ada payung hukumnya, lebih baik jangan aja,” ujar dengan nada emosional.

Melihat praktik perbudakan ABK di kapal asing, tak ada alasan bagi pemerintah untuk seolah tutup mata, tak ada kegawatdaruratan, dan seolah tak terjadi apa-apa. Para ABK sesungguhnya merupakan bagian dari tumpah darah Indonesia yang mesti dilindungi. Selama negara tak pernah hadir, maka, tragedi Ardi, Yadi, Wendi, dan ABK lain yang mengalami perbudakan di kapal asing– hanya menunggu waktu dan akan terus berulang. (her/ade-seri 2 Liputan Perbudakan ABK)

Artikel sebelumnyaKenalkan Potensi Alam, Grand Dafam Signature YIA Gandeng Masyarakat Sekitar
Artikel selanjutnyaKoalisi Parpol: Bagaimana agar Masyarakat Tidak Terjebak Membeli “Pepesan Kosong”?