Bagaimana Mencegah Politik Transaksional yang Menjadi Salah Satu Pemicu Korupsi Kepala Daerah?

Wali Kota Bandung Yana Mulyana
Wali Kota Bandung Yana Mulyana (tengah) berjalan menuju mobil tahanan usai ditetapkan sebagai tersangka pasca terjaring OTT di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Minggu (16/4/2023). (Photo/Istimewa)

Semarang, Idola 92.6 FM – Lagi-lagi kepala daerah terjerat korupsi. Korupsi kepala daerah seolah arisan. Kini, giliran Wali Kota Bandung Jawa Barat, Yana Mulyana.

Penangkapan Yana Mulyana, karena diduga terlibat suap menambah daftar panjang kepala daerah yang tersandung kasus rasuah menjelang Pemilu dan Pilkada 2024. Maraknya tindak pidana korupsi yang dilakukan kepala daerah itu, ditengarai dipicu oleh politik transaksional.

Tidak hanya harus mengembalikan biaya kampanye yang telah dikeluarkan sebelumnya, para kepala daerah diduga juga dituntut membayar ongkos politik tinggi untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaannya.

Sebelumnya, Yana Mulyana terjaring operasi tangkap tangan oleh KPK pada Jumat 4 April lalu di Bandung. KPK juga menangkap Sembilan orang lainnya, antara lain Kepala dan Sekretaris Dinas Perhubungan Kota Bandung, ajudan, serta pihak swasta. Dari 10 orang yang diperiksa, enam di antaranya ditetapkan sebagai tersangka suap pengadaan kamera pemantau (CCTV), serta jasa penyedia jaringan internet di wilayah Kota Bandung. Diduga, uang suap akan digunakan untuk persiapan Lebaran.

Lalu, belajar dari Operasi Tangkap Tangan Wali Kota Bandung-Yana Mulyana, maka “pagar” seperti apa yang bisa dibuat untuk mencegah atau membatasi terjadinya politik transaksional? Bagaimana peran parpol dalam upaya memutus rantai terjadinya politik transaksional menjelang Pemilu dan Pilkada?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, nanti kami akan berdiskusi dengan narasumber, yakni: Pengamat Politik/Dosen FISIP Universitas Indonesia, Aditya Perdana, PhD dan Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman. (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: