Gali Potensi Lokal Borobudur, Wanita Ini Kembangkan Cokelat Jadi Oleh-oleh Wisatawan

Cokelat Borobudur
Wisatawan membeli Cokelat Borobudur sebagai oleh-oleh saat berkunjung ke Candi Borobudur, Kabupaten Magelang.

Magelang, Idola 92,6 FM – Siapa yang tidak kenal dan tahu tentang Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, sebagai destinasi super prioritas dari pemerintah pusat.

Namun, siapa sangka jika di wilayah Borobudur juga ada oleh-oleh yang wajib dibawa pulang dan tentunya memiliki rasa manis menggoda.

Adalah Tyas, warga Desa Candirejo di Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang ini ternyata mampu membuka peluang usaha baru.

Saat ditemui di sekitar kawasan Candi Borobudur pekan kemarin, Tyas bercerita jika dirinya ingin mengembalikan warisan nenek moyang menjadi sandaran hidup masyarakat setempat.

Diakui Tyas, jika dulu di sekitar Pegunungan Menoreh banyak perkebunan kakao sebagai bahan pembuatan cokelat.

Namun saat ini, tanaman kakao tinggal sedikit yang dikembangkan dan masuk wilayah Kabupaten Kulon Progo di Yogyakarta.

“Kita belajar lagi menggali sejarah tentang Borobudur, dulu zaman penjajahan di sepanjang Pegunungan Menoreh itu banyak sekali perkebunan kakao. Saat ini masih ada tapi kurang produktif. Untuk itu coba kita galakkan lagi dan kita kembangkan lagi pertaniannya kemudian kita olah. Jadi Borobudur sekarang punya cokelat lokal,” kata Tyas.

Menurut Tyas, berkat tangan dinginnya dan upaya pendekatan kepada masyarakat sekitar itu tanaman kakao sudah mulai dikembangkan di wilayah Borobudur di Pegunungan Menoreh.

Terutama, memanfaatkan lahan-lahan tidur untuk ditanami kakao sebagai bahan baku pembuatan cokelat.

“Nanti kita yang bantu untuk pengeringan buah kakao yang dipanen petani, dan sampai pada pengolahannya. Memang belum banyak yang bermitra dengan kami sebagai petani kakao,” jelasnya.

Lebih lanjut Tyas menjelaskan, dalam setiap proses produksi pembuatan cokelat itu dirinya membutuhkan 500 kilogram kakao kering.

Jumlah itu tidak sebanyak sebelum pandemi, yang tercatat bisa mencapai dua ton untuk produksi pembuatan cokelat.

“Dampak pandemi memang luar biasa, jadi produksi turun cukup drastis. Tapi kita mencoba untuk bangkit lagi dan minat wisatawan terhadap cokelat Borobudur bisa naik lagi,” ucap Tyas.

Saat ini tercatat ada 15 varian cokelat batangan yang dicampur dengan herbal, kacang-kacangan dan buah-buahan.

Selain itu juga ada produk lain berupa minuman cokelat.

“Harganya yang termurah ada Rp10 ribu saja, dan paling mahal ada Rp45 ribu,” pungkasnya. (Bud)