Menyambut Pembentukan Tim Pemantau Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat secara Non-Yudisial: Apa Implikasinya

Jokowi
Ilustrasi/Tempo.co

Semarang, Idola 92.6 FM – Pasca negara mengakui dan menyesalkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berat pada 12 peristiwa yang terjadi antara 1965 hingga 2003, kini negara mengeluarkan Keppres tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi penyelesaian HAM berat. Keppres ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu.

Dilansir dari salinan Keppres yang diunggah di laman resmi Sekretariat Presiden, dijelaskan soal pembentukan Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat, yang selanjutnya disebut Tim Pemantau PPHAM.

Tim Pemantau PPHAM berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Tim ini mempunyai dua poin tugas. Pertama, memantau, mengevaluasi, dan mengendalikan pelaksanaan rekomendasi Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM yang berat Masa lalu oleh menteri/pimpinan Lembaga. Kedua, melaporkan kepada Presiden paling sedikit enam bulan sekali dalam setahun atau sewaktu-waktu bila diperlukan. Kemudian, Tim Pemantau PPHAM terdiri atas Tim Pengarah dan Tim Pelaksana.

Tim Pengarah bertugas memberikan arahan terhadap pelaksanaan tugas Tim Pelaksana. Selain itu, menetapkan langkah penyelesaian permasalahan dan isu strategis, serta menetapkan hasil pemantauan dan evaluasi pelaksanaan rekomendasi.

Lalu, menyambut pembentukan Tim Pemantau Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat secara Non-Yudisial: Apa implikasinya dan seberapa mampu memperbaiki pelanggaran HAM di Indonesia?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan sejumlah narasumber, antara lain: Dr Herlambang Wiratraman (Ahli hukum tata negara dan hak asasi manusia (HAM) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), Muhammad Isnur (Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)), dan Anis Hidayah (Anggota Komnas HAM RI). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: