Haruskah Para Pelaku Pelanggaran HAM Berat Tidak Boleh Jadi Capres atau Cawapres?

Human Right
Ilustrasi/Istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Jelang Pemilu 2024, tak hanya perihal batas usia minimal dan maksimal usia bakal calon presiden dan wakil presiden. Kini, rekam jejak pelanggaran HAM pun turut dipersoalkan dan digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Baru-baru ini/ ada pihak yang meminta MK mengatur, agar para pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat dilarang menjadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Hal itu disampaikan Anang Suindro selaku kuasa pemohon uji materiil Pasal 169 huruf d dan Pasal 169 huruf q UU Pemilu terkait syarat capres dan cawapres dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung MKRI, Jakarta, Senin (18/09) lalu.

Sebelumnya, Anang menyinggung pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengakui 12 peristiwa pelanggaran HAM berat pada 11 Januari 2023. Beberapa kasus pelanggaran HAM berat itu antara lain: Peristiwa tahun 1965-1966; Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985; hingga Peristiwa Talangsari, Lampung 1989.

Lalu, menanggapi gugatan yang meminta MK mengatur pelaku pelanggaran HAM berat tak boleh jadi Capres-Cawapres, apakah persoalan ini masuk ranah MK? Bukankah soal ini adalah open legal policy yang menjadi kewenangan pembuat undang-undang (parlemen), bukan kewenangan MK untuk mengatur rekam jejak bakal capres-cawapres?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, yakni: Dosen Fakultas Hukum dan Ketua Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi dan HAM Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Yance Arizona, Ph.D. (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: