Negara Mengakui dan Menyesali Terjadinya Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu, Apa Konsekuensinya?

Pelanggaran HAM Berat Kasus Munir.
Photo/Istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM-Negara mengakui dan menyesali terjadinya pelanggaran HAM berat di 12 peristiwa masa lalu. Hal itu disampaikan Presiden Joko Widodo setelah menerima laporan dari Tim Penyelesaian “Non-Yudisial” Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) di Istana Negara pada Rabu 11 Januari 2023. Presiden menyampaikan, sebelumnya dirinya sudah membaca secara saksama laporan tersebut.

Ke-12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang diakui Kepala Negara, yakni:

  1. Peristiwa 1965-1966.
  2. Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985.
  3. Peristiwa Talangsari, Lampung 1989.
  4. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989.
  5. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998.
  6. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.
  7. Peristiwa Trisakti dan Semanggi I – II 1998-1999.
  8. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999.
  9. Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999.
  10. Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002.
  11. Peristiwa Wamena, Papua 2003.
  12. Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.

Terkait hal ini, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa pemerintah akan berusaha untuk memulihkan hak-hak korban pelanggaran HAM berat, secara adil dan bijaksana tanpa meniadakan penyelesaiaan secara yudisial.

Maka, ketika negara mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat: apa artinya dan apa Konsekuensinya? Apa saja tindak lanjut yang mengikat pada pengakuan itu? Bagaimana mencegah hal yang sama tidak bakal terulang di masa mendatang?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Dr Herlambang P. Wiratraman (Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta), Usman Hamid (Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia), dan Taufik Basari (Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Nasdem). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: