Menyikapi Kejanggalan Putusan MK, Apa Jalan Mengokohkan MK sebagai Lembaga Penjaga Konstitusi?

Paman Gibran Bin Jokowi
Ketua MK sekaligus Paman Gibran Bin Jokowi. (Photo/Istimewa)

Semarang, Idola 92.6 FM – Menyusul putusan pengujian konstitusionalitas batas minimal usia calon presiden dan calon wakil presiden yang oleh dua hakim konstitusi sendiri dinyatakan aneh dan penuh keganjilan, Mahkamah Konstitusi (MK) didesak untuk segera membentuk Majelis Kehormatan. Keberadaan Majelis Kehormatan penting untuk memeriksa dugaan pelanggaran etik, pelanggaran prosedural, dan menyatakan fakta sebenarnya kepada publik bagaimana sebenarnya putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 itu disusun.

Hal itu disampaikan Fajri Nursyamsi, Deputi Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menyikapi putusan MK. Menurut Fajri, MK telah menggadaikan kredibilitas dan muruahnya sebagai the guardian of the constitution dengan bersikap inkonsisten karena para hakim konstitusi yang mengabulkan permohonan Pemohon secara drastis berubah pandangan. Para hakim tersebut sebelumnya menolak tegas permohonan pemohon Putusan Nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 dengan alasan pengujian bukan merupakan persoalan konstitusional, melainkan open legal policy.

Namun, pada Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang secara substansi mempersoalkan hal yang sama, malah mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian dan memberikan tambahan norma baru pada syarat calon Presiden dan Wakil Presiden.

“Kondisi demikian menimbulkan pertanyaan, apakah terdapat indikasi desakan, ancaman, ataupun intervensi yang potensial mengganggu independensi hakim konstitusi tersebut. Lebih daripada itu, MK telah melakukan praktik cherry-picking jurisprudence untuk menafsirkan open legal policy, yang berbahaya bagi kelembagaan dan legitimasi putusan MK,” ujar Fajri dalam siaran persnya kepada radio Idola Semarang.

Sementara itu, salah satu hakim yang menyatakan dissenting opinion atas putusan MK, Hakim Wahiduddin menilai, dengan menambahkan norma baru pada putusannya, MK melakukan praktek yang lazim yang dikenal sebagai legislating of Governing from the bench atau mengambil alih tugas DPR dan presiden dari “luar lapangan” tanpa didukung dengan alasan-alasan konstitusional dalam mengabulkan permohonan tersebut.

Padahal, pengabulan permohonan ini tanpa didukung dengan alasan-alasan konstitusional yang cukup atau suffician reason dalam batas penalaran yang wajar. Istilah the bench (bangku) merujuk pada tempat duduk yang dipakai para hakim Mahkamah Agung di Amerika Serikat. Bangku ini memiliki posisi yang lebih tinggi dari peserta sidang, dengan harapan hakim dapat bersikap adil, imparsial, dan mendengarkan semua. Namun, bangku yang lebih tinggi ini juga bisa memutus sebaliknya mengingat besarnya wewenang yang dimilikinya.

Lantas, menyikapi berbagai kejanggalan putusan MK; bagaimana memastikan hal yang sama tidak terulang lagi? Apa jalan untuk mengokohkan MK sebagai penjaga konstitusi? Serta, bagaimana menjaga MK agar tidak sampai menabrak sekaligus merusak tata negara?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, yakni: Dr Khairul Fahmi, MH (Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Andalas Padang), Fajri Nursyamsi (Deputi Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia), dan Muhammad Nasir Djamil (Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: