Polines Siap Hadir sebagai Kampus yang Menempa Kecakapan Generasi Muda

Semarang Trending Topic Mei 2023
Politeknik Negeri Semarang (Polines) sebagai kampus yang komitmen menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas (commited to quality), siap menjadi lembaga pendidikan yang hadir untuk menempa kecakapan generasi muda termasuk generasi milenial. Hal itu disampaikan Wakil Direktur Polines, Dr Eni Dwi Wardhani ST, MT, dalam diskusi Semarang Trending Topic dengan tema “Milenial Membangun Peradaban”, Jumat (26/05) di Allstay Hotel Jl Veteran No 51 Semarang. (Foto: radio Idola Semarang)

Semarang, Idola 92.6 FM – Politeknik Negeri Semarang (Polines) sebagai kampus yang komitmen menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas (commited to quality), siap menjadi lembaga pendidikan yang hadir untuk menempa kecakapan generasi muda termasuk generasi milenial. Sebab, mereka tuntut berperan penting dalam membangun peradaban bangsa.

Hal itu disampaikan Wakil Direktur Polines, Dr Eni Dwi Wardhani ST, MT, dalam diskusi Semarang Trending Topic dengan tema “Milenial Membangun Peradaban” yang diselenggarakan radio Idola Semarang bekerja sama dengan Politeknik Negeri Semarang (Polines), Jumat (26/05) di Allstay Hotel Jl Veteran No 51 Semarang.

Selain Eni Dwi Wardhani, hadir juga narasumber: KH Taj Yasin Maimoen (Wakil Gubernur Jawa Tengah) dan Prof HM Mukhsin Jamil (Wakil Rektor UIN Walisongo Semarang). Acara dipandu penyiar radio Idola Semarang, Dony Asyhar.

Menurut Eni, generasi muda saat ini termasuk generasi milenial dituntut memiliki mindset berpikir kritis. Sehingga, kita harus menyiapkan infrastruktur agar mereka bisa berinovasi dan mengembangkan diri.

Milenial merupakan kelompok demografi setelah Generasi X. Tidak ada batas waktu yang pasti untuk awal dan akhir dari kelompok ini. Generasi Y atau Milenial lahir tahun 1981-1996. Milenial pada umumnya adalah anak-anak dari generasi Baby Boomers.

“Polines siap mewadahi karakteristik termasuk generasi milenial. Kita harus mewadahi mereka dengan lingkungan yang inklusif yang menerima keberagaman,” ujarnya.

Menurut Eni, untuk mendukung ekosistem generasi muda dalam berinovasi diperlukan regulasi yang mendukung. “Diperlukan regulasi-regulasi (ketentuan-ketentuan Pemerintah-Red) yang lebih adaptif untuk membantu mengembangkan inovasi mereka,” ujarnya.

Eni mencontohkan, di India, mobil-mobil hampir semua bersuara kecuali klaksonnya. Kalau di Indonesia, mobilnya tak ada yang bersuara, tapi klaksonnya bersuara. Tapi yang perlu kita diperhatikan, di India, mobil hasil kreasi sendiri.

Sementara di Indonesia, jalan raya yang dibangun dari pajak pemerintah–yang melewati mobil-mobil dari luar negeri. Padahal, kita memiliki generasi yang inovatif, berpikir kritis, dan lain sebagainya.

“Maka, kita perlu regulasi itu tadi. Jadi, pada saat kita siapkan generasi yang membuka inovasi, kita perlu siapkan regulasi di sebelahnya,” tutur Eni.

Berpikir Relevan, Menjadi Kata Kunci

Sementara itu, Wakil Rektor UIN Walisongo Semarang, Prof HM Mukhsin Jamil, menyatakan, kecakapan generasi muda termasuk kalangan milenial diperlukan untuk membangun peradaban bangsa. Mereka dituntut memiliki cara berpikir yang relevan dengan zamannya.

Menurut Prof Mukhsin, masyarakat mesti memahami karakteristik generasi milenial. Sehingga, kita tepat untuk memberikan lingkungan sosial, budaya, bahkan lingkungan politik dan ekonomi yang tepat bagi mereka. Mereka hidup dalam satu situasi– di mana revolusi teknologi berkembang begitu sangat cepat.

“Sehingga, hidupnya serba mudah. Karena hidupnya serba mudah, mereka memiliki budaya mudah bosan melihat sesuatu karena untuk memeroleh sesuatu itu juga bisa diperoleh dengan cara yang cepat pula, terutama teknologi informasi hari ini,” ujar Prof Mukhsin.

Salah satu karakter generasi milenial yakni mudah bosan. Mudah bosan untuk bertahan dalam situasi tertentu. Mereka selalu ingin mengeksplorasi terhadap hal-hal baru. Bagi generasi milenial, tak ada gadget tak ada kehidupan.

“Yang paling konkret, mereka itu, no gadget no life! Artinya apa? Sekarang mereka memiliki sumber-sumber belajar untuk hidup dari lingkungan digital yang masif ” imbuh Prof Mukhsin.

Ia mencontohkan, belanja dengan fasilitas digital, belajar dengan fasilitas digital, bahkan beribadah hari ini juga difasilitasi dengan fasilitas digital. “Sekarang muncul istilah, metaverse digital. Kita mau umroh, hanya dengan alat virtual reality,” tuturnya.

Karena itu, menurut Prof Mukhsin, melihat fenomena ini, dua aktor harus hadir. Yakni, aktor negara dan civil society. Aktor negara sangat banyak, mulai dari pemerintah, politisi, penegak hukum, dan lain sebagainya. Mereka harus menciptakan kebijakan yang mengkondisikan satu lingkungan sosial, kultural, politik, ekonomi yang memang yang bisa mendewasakan mereka, membentuk mereka, sikap mental dan cara berpikir yang relevan.

“Menjadi relevan, kata kuncinya. Jadi, bagaimana negara bisa mendorong generasi milenial untuk relevan dengan zamannya!” kata Prof Mukhsin.

Prof Mukhsin menjelaskan, untuk aktor kedua, civil society. Mulai dari lembaga pendidikan, organisasi sosial kemasyarakatan, organisasi kepemudaan, dan lain sebagainya. Mereka harus hadir dalam situasi yang dialami generasi milenial.

Lalu, apa yang bisa mereka hadirkan? Menurut Mukhsin Jamil, salah satunya, membentuk kecakapan Abad 21. Di antaranya, berpikir kritis (critical thinking).

“Kenapa kecakapan ini penting? Hari ini eranya post-truth. Persoalan era saat ini bukan kebenaran, tapi apa saja informasi yang menggerakkan emosi–itu yang diambil orang. Persoalannya bukan pada informasi benar atau salah, tapi informasi yang bisa menggerakkan emosi. Sehingga, critical thinking bagi generasi milenial sangat penting,” tandas Prof Mukhsin. (her)