Gandeng Gets Hotel & Wolu Organizer, Radio Idola Semarang Gaungkan Pentingnya Aspek Budaya dalam Membangun Bangsa

STT Feb 2024
Radio Idola bekerja sama dengan Gets Hotel dan WOLU Organizer menggelar diskusi Semarang Trending Topic bertema “Culture Matters: Merevitalisasi dan Menginisiasi Budaya Bangsa”, Kamis (29/02/2024) di Lobby Gets Hotel Semarang. Acara juga didukung Laksmi Art Batik dan Teh 2Tang. (Foto Dok Radio Idola Semarang)

Semarang, Idola 92.6 FM – Bekerja sama dengan Gets Hotel Semarang dan Wolu Organizer, Radio Idola menggaungkan pentingnya aspek budaya dalam membangun bangsa. Sebab, selama ini, aspek budaya, masih seolah digarap dengan “tambal sulam” sehingga hanya menghabiskan energi dan belum menyentuh akar persoalan.

Hal itu mengemuka dari para narasumber dalam diskusi Semarang Trending Topic bertema “Culture Matters: Merevitalisasi dan Menginisiasi Budaya Bangsa” yang digelar Kamis (29/02/2024) pagi di Lobby Gets Hotel Semarang. Acara diselenggarakan oleh radio Idola Semarang bekerja sama dengan Gets Hotel dan WOLU Organizer. WOLU Organizer adalah Event & Talent Management yang memberikan jasa; Event Management, Event Production, dan Talent Management. Acara juga didukung Laksmi Art Batik dan Teh 2Tang.

Hadir sebagai narasumber: Prof Dr Tri Marhaeni Pudji Astuti (Guru Besar Antropologi FISIP UNNES), Prof Dr Singgih Tri Sulistiyono (Guru Besar Sejarah FIB Undip Semarang), Dodit Wiwenko Probojakti (Direktur TI, Konsumen, dan Jaringan Bank Jateng), dan dr Sigid Kirana Lintang Bhima (Ketua IDI Kota Semarang). Acara dipandu Nadia Ardiwinata (penyiar Radio Idola Semarang).

Diskusi yang dihadiri puluhan peserta dari berbagai kalangan itu mengacu pada buku Culture Matters; How Values Shape Human Progress, yang ditulis salah satunya oleh Samuel P. Huntington. Buku itu mengisahkan tentang dua negara, Korea Selatan dan Ghana pada tahun 1960-an. Keduanya merupakan dua negara yang memiliki tingkat ekonomi yang persis sama.

Pada waktu itu keduanya memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) per-kapita yang sama, serta sama-sama memiliki pinjaman (utang) dan menerima bantuan ekonomi yang setara. Akan tetapi, 30 tahun kemudian, Korea Selatan melesat menjadi “raksasa industri maju” dan menjadi ekonomi terbesar ke-11 di dunia. Sementara Ghana? Sangat jauh tertinggal di belakangnya, di mana PDB per-kapitanya hanya seperlimabelas dari Korea Selatan.

Ada sejumlah faktor yang berperan menjadi pembeda pertumbuhan ekonomi ke-dua negara. Tetapi faktor yang paling utama menurut Huntington, adalah: Budaya! Budaya yang dimaksud oleh Huntington, adalah cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Budaya Masih Sebatas Slogan

Prof Dr Tri Marhaeni Pudji Astuti mengamini apa yang ditulis Samuel P Huntington tersebut. Namun, persoalannya, di Tanah Air, upaya memperkuat budaya bangsa masih sebatas slogan atau dogma. Sehingga, belum bisa mendarah daging seperti halnya di Korea Selatan.

“Budaya yang hebat belum tentu bisa di inkulturasi jika hanya slogan atau dogma. Kita sudah punya budaya adiluhung tapi tidak dilakukan,” katanya.

Soal budaya ini, lanjut Prof Tri Marhaeni, ia mengajak kita belajar dari Singapura. Belajar dari Singapura—di mana budaya normatif dengan aktualnya sudah serupa sehingga budaya sudah jalan. Berbeda dengan indonesia, di mana antara normatif dan aktualnya, tak sinkron. “Titik pangkal kebudayaan kita: antara normatif (yang seharusnya) dan aktual (yang terjadi) tak sinkron,” tuturnya.

STT Feb 2024
Radio Idola bekerja sama dengan Gets Hotel dan WOLU Organizer menggelar diskusi Semarang Trending Topic bertema “Culture Matters: Merevitalisasi dan Menginisiasi Budaya Bangsa”, Kamis (29/02/2024) di Lobby Gets Hotel Semarang. Acara juga didukung Laksmi Art Batik dan Teh 2Tang. (Foto Dok Radio Idola Semarang)

Ia mencontohkan, ketika kita berada di luar negeri begitu patuh dengan aturan di sana. Hal itu karena hukumnya jalan. Namun, begitu pulang ke Indonesia, bahkan, baru sampai di bandara saja, sudah berubah. “Kenapa? Karena di Indonesia, sudah biasa begitu. Misal, abai pada budaya antre dan sebagainya, dan hukum juga tak jalan,” katanya.

Untuk itu, sebagai solusi atas persoalan ini, menurut Prof Tri Marhaeni, adalah keteladanan dan konsistensi penegakan huku, “Untuk mewujudkan budaya, kuncinya keteladanan dan konsistensi. Kalau tak ada contoh yang baik atau susah mencari contoh yang baik, carikan contoh yang jelek dan jangan ditiru,” tandasnya.

Upaya Revitalisasi Budaya Masih “Tambal Sulam”

Sementara itu, Prof Singgih sepakat bahwa kebudayaan sangat penting untuk kemajuan bangsa dan masyarakat. Namun, ia melihat, salah satu persoalan di Indonesia dalam persoalan budaya adalah gap. Ada ketidaksinkronan di antara unsur-unsur pelaku budaya mulai dari keluarga, masyarakat, hingga pemerintahan. Sehingga. harus ada gerakan sosial dari para ilmuwan atau negara untuk merumuskan kembali nilai-nilai budaya dari yang abstrak ke dalam perilaku sehari-hari yang bisa dipahami semua lapisan.

“Harus ada satu gerakan sosial atau gerakan kebudayaan. Di mana kemudian nilai-nilai itu dipahami seluruh lapisan. Sehingga, ada klop kebudayaan,” ujar Prof Singgih Tri Sulistiyono.

Klop kebudayaan ini, menurut Prof Singgih, menentukan budaya kita di antara keluarga, sekolah, masyarakat, hingga Pemerintah. Namun, ia melihat, upaya menanamkan kebudayaan selama sifatnya masih tambal sulam. “Ini hanya akan menghabiskan waktu karena tidak menyentuh akar,” kata Prof Singgih.

Menurut Prof Singgih, revolusi mental atau moral, bagus. Namun, harus dilakukan secara mendasar. Gerakan moral atau revolusi moral perlu dilakukan lagi. “Dengan cara menetapkan nilai-nilai apa yang perlu dianut oleh seluruh lapisan masyarakat: hayati dan amalkan. Tidak hanya aspek moral tapi juga aspek hukum,” harapnya.

Perlu “Stick and Carrot” ala Lee Kuan Yew

Dodit Wiweko Probojakti menambahkan, ada 6 ribu karyawan yang bekerja di Bank Jateng. Setiap hari, mereka menerapkan budaya PRINSIP: Profesional, Integritas, Inovasi dan Kepemimpinan. Dalam keseharian, mereka menerapkan budaya kerja berbasis nilai-nilai tersebut. “Selain itu, ia juga sepakat bahwa kunci penerapan budaya bagi masyarakat adalah keteladanan dan konsistensi,” ujarnya.

Dalam penegakan disiplin berbudaya itu, Dodit juga menerapkan “stick and carrot” ala mantan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew. Harus ada reward and punishmen juga.

Dalam kesempatan itu, Dodit menyampaikan, dirinya sangat berharap pada Gen Z untuk bisa mengubah budaya yang saat ini mungkin dinilai sulit. Gen Z akan menjadi harapan pemimpin di masa depan yang juga akan bisa melakukan perubahan. “Gen Z adalah generasi perubahan,” tandasnya.

Sementara, dr Sigid Kirana Lintang Bima, menekankan, tantangan dalam kebudayaan kita adalah upaya sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai budaya pada masyarakat. Indonesia sudah memiliki Pancasila sebagai karakter bangsa. “Kita memiliki Pancasila yang nilai-nilai di dalamnya sudah bagus, tapi persoalannya, bagaimana cara membumikannya. Pancasila harus mulai dikenalkan sejak kecil di keluarga,” ujarnya. (her/tim)