Kasus Kekerasan di Ponpes Terus Terjadi, Bagaimana Memutus Mata Rantainya?

Ilustrasi Kekerasan di Ponpes
Ilustrasi/Istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Kasus kekerasan atau perundungan (bullying) hingga berujung korban jiwa di lingkungan Pondok Pesantren masih terus terjadi. Terkini, terjadi di Kediri, Jawa Timur. Kementerian Agama (Kemenag) dinilai ‘kecolongan’ karena gagal menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan di lingkungan pondok pesantren.

Baru-baru ini publik dikejutkan oleh kasus kematian Bintang Balqis Maulana (14 tahun), santri asal Banyuwangi yang nyantri di Pesantren PPTQ Al Hanifiyyah, Mojo, Kediri. Bintang meninggal dengan kondisi banyak luka lebam dan robek di tubuhnya. Polisi kemudian menetapkan total 4 tersangka yang merupakan sesama santri hingga senior korban dalam kasus tersebut.

Kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan pesantren itu menambah catatan masih berulangnya perundungan atau penganiayaan berujung maut di lingkungan pesantren yang masih terus berulang.

Berdasarkan data Catatan Akhir Tahun Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), sepanjang 2023, setidaknya terdapat 30 kasus perundungan dengan kekerasan yang dilaporkan ke Polisi. FSGI mencatat, dari jumlah tersebut sebanyak 20 persen kasus perundungan dengan kekerasan justru terjadi di satuan pendidikan yang berada di bawah naungan Kemenag.

Lalu, bagaimana memutus mata rantai kekerasan di lingkungan pesantren? Apa pokok pangkal masalah yang menjadi penyebab kekerasan di lingkungan pendidikan khususnya pesantren yang mestinya memiliki kekhasan dalam mendidik kaum santri ketimbang persekolahan pada umumnya?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber Pengamat Pendidikan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr Jejen Musfah, M.A. (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: