Menyoroti Pernyataan Ketua Umum Partai Golkar yang Meminta Jatah 5 Menteri

Jika Paslon Prabowo-Gibran Ditetapkan sebagai Pemenang Pilpres 2024

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (kiri). (Photo/Istimewa)

Semarang, Idola 92.6 FM – Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto baru-baru ini mengklaim sebanyak 80-90 persen pemilih Partai Golkar ikut memilih pasangan calon Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di Pilpres 2024. Selain itu, Partai Golkar terdepan dalam mendukung Prabowo-Gibran di Pilpres 2024 lalu.

Oleh karena itu, Airlangga berharap partainya mendapat ‘jatah kursi’ lebih banyak di kabinet, sekurangnya 5 menteri jika Prabowo-Gibran telah ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2024.

Pernyataan itu pun menuai respons dari sejumlah pihak. Permintaan jatah kursi menteri dinilai sebagai cara Partai Golkar menagih ‘ongkos timbal balik’ dari dukungan yang mereka berikan ketika mengusung Capres-Cawapres nomor urut 2 Prabowo-Gibran. Kemungkinan, mereka sudah meneken “kontrak politik” sebelum memberikan dukungan mereka.

Lalu, bukankah ini merupakan gambaran nyata terjadinya “transaksi politik” yang sering digambarkan sebagai politik dagang sapi? Ketika nanti transaksinya tidak sesuai kalkulasi untung-rugi, apakah tidak berisiko merenggangkan kerjasama? Apakah praktik seperti ini memang sudah menjadi kelaziman dalam demokrasi kita? Demi memperbaiki kualitas demokrasi, tak bisakah praktik seperti ini dihindari?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Prof Firman Noor (Profesor Riset bidang Politik BRIN dan dosen ilmu Politik FISIP UI) dan Habiburokhman (Wakil Ketua Umum Partai Gerindra). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: