Mencari Titik Equilibrium (Keseimbangan) Antara State, Market, dan Civil Society

State, Market, dan Civil Society

Semarang, Idola 92.6 FM – Dalam kehidupan satu negara, ada tiga komponen yang menjadi pondasi penopangnya. Komponen-komponen itu adalah State atau Pemerintah, Market atau Pasar, dan Civil Society atau Masyarakat Sipil. Ketiga komponen ini saling bergantung satu sama lain, dan memiliki perannya masing-masing.

State atau pemerintah adalah lembaga negara yang memiliki tugas sebagai pengatur jalannya kehidupan bernegara. Dalam prosesnya pemerintah menjalankan perannya dengan membuat kebijakan, peraturan-peraturan, undang-undang, menyelesaikan masalah-masalah kriminal dan ketidakadilan, dan sebagainya. Dengan kata lain State adalah lembaga politik dari suatu negara.

Sementara, Market atau pasar adalah lembaga atau organisasi yang berfungsi sebagai penyedia barang dan jasa untuk dikonsumsi oleh State dan Civil Society. Pasar juga berfungsi untuk menjamin adanya aliran keuangan, baik dari State ke Civil Society maupun sebaliknya. Sehingga Market merupakan lembaga ekonomi dari suatu negara.

Sedangkan Civil Society atau juga disebut Masyarakat Sipil, merupakan sekumpulan manusia yang mendiami suatu negara dan secara konstitusional memiliki hak dan kewajiban atas negaranya. Dalam kehidupan bernegara, Civil Society memiliki peran sebagai lembaga sosial di negara tersebut.

State, Market, dan Civil Society

Dalam negara demokratis, Civil Society merupakan penyangga utama tegaknya demokrasi. Kehadirannya, ibarat oksigen, yang tanpanya demokrasi tak akan tumbuh dan berkembang dengan baik. Demokrasi dan Civil Society bak dua sisi mata uang, di mana keduanya saling melengkapi. Pentingnya peran Civil Society dalam konteks demokrasi membuat keduanya tak bisa dipisahkan. Karena demokrasi tanpa kehadiran Civil Society yang kuat hanya akan mengarah pada otoritarianisme negara. Berkaca pada pengalaman Indonesia di era sebelum reformasi, lemahnya peran Civil Society membuat demokrasi menjadi mandul dan tampak paradoks.

Sehingga, dapat dikatakan, kehadiran demokrasi tanpa partisipasi aktif masyarakat sipil hanya menjadi demokrasi yang dangkal—demokrasi yang lebih berat di prosedur ketimbang subtansi demokrasi itu sendiri, seperti: kesetaraan, kebebasan, keadilan, kesejahteraan, dan perlindungan.

Dalam konteks peran dan hubungan ketiga komponen itulah; State, Market dan Civil Society, Sudirman Said-Ketua Institut Harkat Negeri, kemarin menulis opini di sebuah harian nasional dengan judul “Urgensi Memperkuat Civil Society”. Dalam esai itu ia mengemukakan bahwa situasi saat ini, daya tawar Civil Society sedang melemah, sementara posisi State kian menguat.

Kita pun bisa menyaksikan, di tengah kasus dan korban jiwa akibat Covid-19 yang terus meningkat, muncul desakan pada pemerintah agar Pilkada ditunda di tengah Pandemi. Namun, pemerintah tetap kekeuh menggelar Pilkada 2020. Maka tak salah, jika sebagian orang membacanya sebagai gejala makin menguatnya kekuatan State dan menurunnya kekuatan Civil Society.

Maka, ketika kekuatan Civil Society kini semakin turun, apa konsekuensi logisnya? Serta, bagaimana cara mencapai “titik equilibrium” atau keseimbangan kekuatan yang produktif, antara State, Market, dan Civil Society? Masih adakah jalan setapak yang bisa ditempuh untuk mengembalikan keseimbangan itu?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Sudirman Said (Ketua Institut Harkat Negeri; Sekjen PMI); Abdul Gaffar Karim (Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta); dan Prof Firman Noor (Kepala Pusat Penelitian LIPI). (andi odang/ her)

Berikut podcast diskusinya: