UU ITE: Melindungi Atau Justru Masih Mengancam Kebebasan Berekspresi Masyarakat?

Semarang, Idola 92.6 FM – DPR baru-baru ini telah menyetujui pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Keputusan ini menuai protes dari berbagai pihak karena masih berpotensi mengancam kebebasan berekspresi. UU Perubahan UU ITE memang mengubah ancaman sanksi pidana pelaku penghinaan atau pencemaran nama baik dari semula pidana penjara paling lama enam tahun menjadi empat tahun dan atau denda dari paling banyak Rp1 miliar menjadi Rp 750 juta. Namun, perubahan ini tetap tidak menghilangkan celah kriminalisasi.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reforma (ICJR), Anggara menilai, UU ini hanya melegitimasi kepentingan pemerintah agar sikap kritis masyarakat dikekang. Pasal penghinaan dan pencemaran nama baik seharusnya dicabut, tidak sebatas menurunkan ancaman pidana dan denda. Dengan norma itu masih ada, kebebasan berekspresi tetap terancam. Hal yang lebih mengkhawatirkan lagi, UU Perubahan UU ITE mengatur kewenangan pemerintah untuk memutus akses atau memerintahkan penyelenggara sistem elektronik memutus akses terhadap informasi elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum.

Kepala Divisi Riset dan Jaringan Lembaga Bantuan Hukum Pers Asep Komaruddin berpendapat, kewenangan ini berpotensi disalahgunakan untuk membungkam kritik. Apalagi, indikator muatan yang dilarang tidak dijelaskan secara detail.

Lantas, benarkah Undang-Undang Perubahan UU ITE masih menjadi ancaman bagi kebebasan berekspresi masyarakat? Masih relevankah pasal penghinaan dan pencemaran nama baik tetap diatur dalam regulasi ini?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, kami akan berdiskusi bersama beberapa narasumber yakni: TB Hasanuddin, Ketua Panitia Kerja RUU Perubahan UU ITE TB Hasanuddin dan Donny B Utoyo, Peneliti Senior Information And Communication Technology (ICT) Watch. (Heri CS)

Berikut Perbincangannya: