Ikuti Kami di Google News

Semarang, Idola 92.6 FM – Permintaan Presiden Joko Widodo agar masyarakat menyampaikan kritik ke pemerintah, memperoleh tanggapan luas dari berbagai kalangan. Ada yang menilai, publik sebenarnya dengan senang hati melakukan kritik namun mereka dibayang-bayangi pasal karet dalam UU Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Sebagian masyarakat menilai, jika mengkritik pemerintah, maka buzzer di media sosial akan langsung menyerang balik si pengritik.

Ketika Pemerintah Minta Dikritik Tapi Para Pengkritik Dikriminalisasi

Hal itu tampaknya telah mendorong pemerintah sehingga berencana menggunakan hak inisiatifnya untuk merevisi UU ITE. Menanggapi rencana itu, ada beragam ekspresi dari netizen di Twitter. Lebih dari 17 ribu perbincangan tentang UU ITE pun menjadi sangat popular.

Presiden Joko Widodo melalui akun @jokowi mengatakan, tujuan utama dibuatnya UU ITE adalah untuk menjaga ruang digital Indonesia bersih, sehat, beretika, dan produktif. Jika implementasinya menimbulkan rasa ketidakadilan, dia berkata, UU ITE perlu direvisi.

Sebelumnya, di tengah kegiatan rapim TNI-Polri di Istana Negara, Presiden juga menyampaikan: jika UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, maka ia akan meminta DPR untuk bersama-sama merevisi UU ITE. Revisi itu terutama untuk menghapus pasal-pasal karet yang multitafsir. Presiden juga menginstruksikan Polri agar dapat menjamin rasa keadilan bagi masyarakat dengan lebih selektif menyikapi laporan pelanggaran UU ITE.

Gayung bersambut. DPR pun menyambut baik dan mendukung Presiden. Wakil Ketua DPR RI, Azis Syamsuddin menyatakan, sesuai mekanisme yang berlaku, pemerintah dapat mengusulkan revisi undang-undang kepada DPR. Hal itu untuk menjaga agar demokrasi tetap berjalan sesuai harapan, dalam menyampaikan kebebasan berpendapat.

Jeratan UU ITE
Ilustrasi. (terrafirma)

Kita mengapresiasi, dua pendapat yang bisa kita sebut mewakili unsur eksekutif dan legislatif itu. Hal itu juga cukup merepresentasikan kegelisahan publik atas riuh ramainya media sosial dalam beberapa hari terakhir terkait kritik-mengkritik dan munculnya fenomena buzzer.

Maka, bagaimana mendudukkan UU ITE, agar tidak jadi alat kriminalisasi? Apa dulu asbabun nuzul dibuatnya UI ITE? Apakah keberadaannya masih dibutuhkan sehingga cukup direvisi, atau bahkan perlu dihilangkan? Lalu, upaya apa lagi yang mesti dilakukan ketika pemerintah telah setuju untuk menggunakan inisiatif merevisi UU ITE?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Charles Simabura (Peneliti Pada Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)/ Dosen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang); Ade Wahyudin (Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers); dan Mayjen TNI (purn) TB Hasanuddin (Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan). (her/andi odang)

Dengarkan podcast diskusinya: