Menakar Plus-Minus Kebijakan Lima Hari Sekolah

Semarang, Idola 92.6 FM – Rencana penerapan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan kembali menimbulkan polemik. Dinilai masih minim sosialisasi, kali ini rencana penerapan lima hari sekolah atau selama 8 jam per hari mendapat beragam protes seperti ketika wacana full day school yang mendapat gelombang penolakan.

Mereka yang kontra, menilai kebijakan yang akan diterapkan pada tahun ajaran 2017-2018 atau Juli mendatang akan berdampak pada lembaga pendidikan nonformal seperti lembaga pendidikan diniyah yang dimulai pada sore hari. Sedangkan yang pro mendukung pemerintah sebab ini akan mengintegrasikan sistem pendidikan formal dengan nonformal dan memudahkan pengawasan.

Sementara itu, Mendikbud Muhadjir Effendy menyatakan, kekhawatiran bakal bubarnya lembaga pendidikan nonformal, terutama TPQ dan madrasah diniyah, berlebihan. Bahkan, integrasi sekolah dengan lembaga nonformal bisa mendorong kenaikan kesejahteraan ustad. Dengan demikian, honor ustad diniyah bisa diambilkan dari dana BOS. Menteri asal Malang itu menjelaskan, di beberapa daerah pembelajaran sampai pukul 16.30 WIB sudah berjalan. Ia mencontohkan, di Siak, Riau, setelah pukul 2 siang, proses belajar mengajar diambil alih para ustad. Para ustad tersebut mendapatkan gaji dari Pemkab Siak.

Lantas, menakar polemik rencana kebijakan lima hari sekolah, bagaimana sebenarnya publik mesti menyikapinya? Benarkah ini akan efektif untuk mengintegrasikan pendidikan formal dan lembaga nonformal? sudah siapkah semua sekolah menerapkan aturan ini? Atau justru kebijakan ini mesti menyesuaikan dengan kondisi tiap-tiap daerah?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Radio Idola 92.6 FM berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Arief Rachman (praktisi pendidikan/Guru Besar Universitas Negeri Jakarta) dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. (Heri CS)

Berikut Perbincangannya: