Bagaimana Keluar dari Cengkeraman Oligarki Politik-Kekuasaan? Berkaca pada Korupsi “Bancakan” di DPRD Kota Malang

Semarang, Idola 92.6 FM – Lembaga legislatif sejatinya memiliki fungsi penganggaran (budgeting), penyusunan produk hukum atau peraturan perundang-undangan (legislasi), dan pengawasan (controlling) yang dijalankan dalam kerangka representasi rakyat. Namun, melihat fenomena anggota DPRD Kota Malang kita begitu miris. Sebanyak 41 anggota dari total 45 anggota DPRD Kota Malang periode 2014-2019 justru seolah bersama-sama melakukan “bancakan” uang rakyat. Tentu saja mereka tak sendirian sebab ada pihak eksekutif yang turut ber-kongkalikong yakni mantan Wali Kota Malang Moch Anton. Ke-41 orang anggota DPRD yang sudah ditetapkan tersangka oleh KPK itu diduga menerima uang senilai Rp 12,5 hingga Rp 50 juta dari Anton–yang juga telah menjadi tersangka terkait pengesahan RAPBD-P kota Malang tahun 2015.

Kasus ini seolah menjadi tragedi bagi demokrasi di Indonesia. Terseretnya mayoritas anggota DPRD Kota Malang ini sesungguhnya bukan peristiwa baru. Sejenak kita menengok sejarah, pada tahun 2002-2003 sebanyak 43 anggota DPRD Padang juga pernah ditetapkan sebagai tersangka. Selain itu kasus serupa juga pernah terjadi di DPRD Musi Banyuasin, DPRD Sumatera Utara, dan DPRD Riau.

Kita kemudian bertanya-tanya, mengapa anggota DPRD begitu rentan terjerat perangkap lingkaran korupsi? Ini tentunya, bukan semata perilaku koruptif oknum legislatif saja melainkan turunan dari sistem demokrasi yang kita jalankan selama ini. Ibaratnya, kasus ini merupakan buah yang kita panen dari bibit yang kita semai berupa budaya persekongkolan jahat yang secara sistematis dipelihara dari waktu ke waktu.

Beberapa anggota DPRD Kota Malang usai diperiksa KPK di Jakarta.

Dari ini, kita seolah melihat pula bahwa sistem politik kita masih berada dalam bayang-bayang sistem oligarki politik-kekuasaan. Artinya, sistem politik dimana sekelompok elit yang berkuasa atau memerintah selalu menggunakan segala cara agar rakyat dapat dikendalikan dan dikuasainya. Dalam konteks demokrasi saat ini, kita masih sebatas memaknai demokrasi secara prosedural dan pragmatisme.

Lantas, ditetapkannya mayoritas anggota DPRD Kota Malang periode 2014-2019 sebagai tersangka korupsi—sesungguhnya ini fenomena apa? Berkaca pada korupsi massal ini/ bagaimana kita keluar dari cengkeraman oligarki politik—dimana kekuasaan politik ditentukan atau berada di tangan segelintir elit? Siapa yang mesti bertanggung jawab dari persoalan ini? Melihat kasus ini, perlukah pula kewenangan DPRD dibatasi?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Brawijaya Malang Aan Eko Widiarto dan Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng (Pak Endi). [Heri CS]

Berikut diskusinya: