Bagaimana Memperbaiki Tata Kelola Pangan, Berkaca pada Koreksi Data Termutakhir Perberasan?

Beras Bulog

Semarang, Idola 92.6 FM – Di tengah kondisi perekonomian global yang diwarnai ketidakpastian, Indonesia masih belum mampu mengatasi karut-marut tata kelola pangan—khususnya perberasan nasional. Kita masih berkutat dengan persoalan data. Data perberasan yang kita miliki ternyata masih belum sinkron dan tak valid dengan fakta di lapangan sehingga menjadi akar kemelut kebijakan yang diluncurkan. Setelah polemik impor beras antara Kementerian Perdagangan dan Bulog, kali ini terungkap kesalahan penghitungan data produksi beras secara nasional. Ironisnya, kesalahan penghitungan tersebut sudah terjadi sejak tahun 1997.

Namun, ada secercah harapan. Kini, pemerintah memperbarui metode penghitungan data produksi beras. Kali ini dengan memanfaatkan data-data dari citra satelit dan mengecek langsung ke lahan pertanian. Hasilnya, update mutakhirnya: luas lahan baku sawah mencapai 7,1 juta hektare dengan total produksi 56,54 juta ton gabah kering giling atau setara 32,42 juta ton beras sampai Desember tahun ini.

Data hasil pembaruan tersebut memiliki selisih signifikan jika dibandingkan dengan angka ramalam 1 atau perkiraan produksi Kementerian Pertanian yakni luas baku sawah mencapai 7,75 juta hektar dengan proyeksi produksi sebesar 83,4 juta ton gabah kering giling atau setara dengan 46,50 juta ton beras hingga akhir 2018. Ini artinya, selisih poyeksi produksi beras mencapai lebih dari 14 juta ton! Kementan selama ini menetapkan angka ramalan produksi berdasar hasil koordinasi dengan Badan Pusat Statistik.

Pembangunan infrastruktur, tanah persawahan hilang untuk jalan Tol.

Hal itu terungkap dalam rapat terbatas yang dipimpin Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jakarta baru-baru ini. Rapat membahas perbaikan metodologi perhitungan data produksi beras menggunakan metodologi perhitungan data produksi beras menggunakan metodologi kerangka Sampel Area yang menggantikan model data manual berjenjang dari dinas pertanian sampai Kementerian Pertanian.

Wapres menyatakan, dengan kesalahan penghitungan sejak tahun 1997 itu jumlah produksi beras seolah-olah terus meningkat setiap tahunnya padahal kenyataanya area lahan pertanian berkurang sekitar 1,5 persen per tahun dan jumlah penduduk terus bertambah.

Lantas, bagaimana memperbaiki tata kelola pangan kita, berkaca pada koreksi data terbaru perberasan oleh Pemerintah? Cukupkah ini, menjadi upaya penyelesaian polemic impor beras yang selama ini kerapkali terjadi?
Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Guru Besar Fakultas Pertanian IPB/Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) Prof. Dwi Andreas Santosa, MS dan Deputi Bidang Statistik Produksi BPS M. Habibullah. [Heri CS]

Berikut diskusinya:

Artikel sebelumnyaMenakar Plus-Minus Wacana Debat Capres di Kampus
Artikel selanjutnyaPenjualan Rumah Mewah Sedikit Terdongkrak di Pameran Property Expo