Bagaimana Mendorong Strategi Kebijakan Komprehensif untuk Meningkatkan Daya Saing Industri di Tengah Ketidakpastian Perekonomian Global?

Semarang, Idola 92.6 FM – Fenomena melemahnya nilai tukar rupiah dalam beberapa bulan terakhir hingga menembus angka lebih dari Rp15 ribu per dollar AS telah menimbulkan tanda tanya dan bahkan kekhawatiran bagi sebagian masyarakat. Hal itu bisa dimaklumi mengingat faktor pengalaman krisis keuangan 1997/1998 silam yang telah berdampak secara multidimensional.

Berbeda dengan krisis 1997/1998, rupiah yang terdepresiasi saat ini lebih disebabkan oleh faktor eksternal yaitu perang dagang AS-China, kenaikan suku bunga The Fed, dan kekhawatiran dampak rambatan (spillover) dari pelemahan nilai tukar Lira di Turki, peso di Argentina, serta sejumlah mata uang lainnya.

Meski demikian, menurut pemerhati ekonomi MHA Ridhwan dalam opininya di Kompas (29/09/2018) Sabtu lalu, jika menyimak data defisit transaksi berjalan, angkanya naik menjadi 8,0 miliar dollar AS pada triwulan 2-2018 dari triwulan 1-2018 5,7 miliar dollar AS sehingga transaksi berjalan hingga semester 1-2018 tercatat 2,6 persen dari PDB. Meskipun masih relatif aman karena di bawah 3 persen dari PDB, indikator transaksi berjalan ini sangat penting untuk diperhatikan sebab merupakan indikator suatu negara khususnya dalam konteks perdagangan dan investasi aliran modal di dunia. Defisit transaksi berjalan berpotensi menjadi sumber vulnerabilitas dari sisi eksternal-nilai tukar atau rawan menjadi obyek spekulasi.

Lantas, di tengah berbagai persoalan perekonomian nasional kita saat ini, bagaimana mendorong strategi kebijakan komprehensif untuk meningkatkan daya saing industri di tengah ketidakpastian perekonomian global? Bagaimana pula meningkatkan volume ekspor yang kini didominasi bahan mentah dan produk setengah jadi? Sudahkan negara melakukan terobosan-terobosan dalam upaya mengatasi kompleksnya permasalahan yang dihadapi untuk meningkatkan kinerja dan daya saing ekspor industri manufaktur nasional?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Wijayanto Samirin (Pengamat ekonomi/Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Ekonomi) dan Enny Sri Hartati (Direktur Institute for development of Economics and finance (INDEF)). [Heri CS]

Berikut diskusinya:

Artikel sebelumnyaDukung ODF, KUA Punggelan Banjarnegara Syaratkan Calon Pengantin Beli Jamban Baru
Artikel selanjutnyaBelajar dari Gempa Bumi dan Tsunami di Palu dan Donggala Sulawesi Tengah