Bagaimana Menguatkan Kohesi Masyarakat di Tengah Ancaman Era Disrupsi atas Tafsir Agama?

Semarang, Idola 92.6 FM – Sejarah masyarakat di nusantara memperlihatkan kedekatan agama dan budaya setempat seperti mata uang dengan dua sisi yang tak terpisahkan. Para pendiri bangsa dengan penuh keyakinan mendirikan Negara berdasar keberagaman masyarakat dan budayanya tercermin di dalam Pancasila. Semua itu dengan satu tujuan yaitu mencapai masyarakat yang adil dan makmur.

Kini, disrupsi akibat globalisasi juga menyentuh tatanan kehidupan masyarakat yang sejak awal sudah beraneka ragam. Masyarakat berada di abad baru dimana salah satunya ditandai dengan dinamika perubahan yang mendisrupsi kemapanan—dan salah satunya disrupsi atas tafsir agama. Era disrupsi tidak hanya terjadi pada bidang teknologi tetapi juga pada tafsir agama. Terjadinya konflik antara ekspresi agama dan kebudayaan merupakan cerminan disrupsi dalam hal pemahaman keagamaan.

Terkait dengan hal ini, beberapa waktu lalu, Kementerian Agama menggelar sarasehan bertema “Relasi Agama dan Budaya di Indonesia” di Yogyakarta baru-baru ini.

Dari acara itu mengemuka, masyarakat memiliki daulat sekaligus tanggung jawab mengatasi persoalan dan tantangan bangsa yang belakangan terjadi tersebut. Perlu diciptakan perubahan nyata di semua dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan ini dirasa mendesak dilaksanakan mengingat disrupsi berpotensi mengganggu, bahkan merusak keyakinan masyarakat dan hubungan ideal antara keyakinan dan kenyataan social serta budaya di mana anggota masyarakat berada.

Lantas, pertanyaan besar bagi kita bersama bagaimana menguatkan kohesi sebagai bangsa yang belakangan mendapat tantangan dari dalam dan dari luar batas-batas negara? Upaya apa yang mesti dilakukan untuk menguatkan kohesi masyarakat di tengah ancaman disrupsi atas tafsir agama yang belakangan menyeruak terjadi?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Prof Abdul A’la (Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya) dan Radhar Panca Dahana (Sosiolog Antropolog & budayawan/ koordinator Mufakat Budaya Indonesia). [Heri CS]

Berikut diskusinya: