Daerah Bencana Semakin Meluas, Apa Penyebab dan Bagaimana Mengatasi Dampaknya?

Semarang, Idola 92.6 FM – Sejumlah daerah di Jawa dan Sumatera dilanda banjir besar pada awal musim hujan ini. Sejumlah orang meninggal dan fasilitas umum rusak. Merujuk pada Kompas (8/11/2018), berdasarkan data Badan Penganggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Tengah, sebanyak 1.864 desa di 336 kecamatan terendam banjir.

Jumlah ini meningkat dari 1.719 desa di 334 kecamatan tahun 2016. Wilayah rawan longsor menjadi 2.134 desa di 344 kecamatan, bertambah dari 1.594 desa di 332 kecamatan. Dosen hidrologi Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang, Robert J Kodoatie, mengatakan, kemampuan Kementerian Pekerjaan Umum dan Tata Ruang menrehabilitasi sungai dan daerah aliran sungai tidak sebanding dengan perubahan tata guna lahan,terutama pada daerah resapan air di hulu sungai. Jika sungai diperlebar dan diperdalam, itu hanya meningkatkan kapasitas daya tampung dua kali lipat dari kapasitas sebelumnya. Ini tentu sangat jauh dibandingkan dampak perubahan tata guna lahan.

Menurut Robert, lahan yang semula daerah resapan air dan ruang hijau berubah jadi kawasan bukan resapan air sehingga meningkatkan debit air hingga 35 kali lipat dari sebelumnya. Ia mencontohkan, rehabilitasi dan normalisasi Kanal Banjir Timur di Kota Semarang senilai Rp400 miliar hanya meningkatkan kapasitas sungai dua kali. Jika kapasitas semula 100 kubik per detik, jadi 200 kubik per detik.

Lantas, apa sesungguhnya akar penyebab dan bagaimana mengatasi dampaknya? Untuk memperbaiki kondisi ini, apa upaya yang mesti dilakukan pemerintah dalam jangka menengah maupun jangka panjang? Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang mewawancara Dosen Hidrologi Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang Dr Robert J. Kodoatie. [Heri CS]

Berikut wawancaranya: