Menimbang Utang Luar Negeri yang Tembus Rp4000 triliunan

Semarang, Idola 92.6 FM – Bank Indonesia baru saja mengumumkan posisi terakhir utang luar negeri Indonesia, baik utang pemerintah dan BI maupun swasta. Akhir-akhir ini banyak kritik terhadap penambahan utang Indonesia. Di satu sisi, kritik itu benar. Sebab, kita pernah mengalami trauma berat tatkala mengalami krisis besar 20 tahun silam, pada tahun 1998. Kala itu, penyebab utamanya adalah utang luar negeri.

Namun, terkait dengan utang, menurut Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM-A Tony Prasetyantono, sebagian kritik tersebut tidak akurat karena masalah utang memang mengandung banyak segi serta aneka data dan rasio yang sering bisa disalah artikan. Menurutnya, utang luar negeri Indonesia terus meningkat memang tak terhindarkan.

Mengelola keuangan negara ada kemiripan dengan keuangan perusahaan ketika perekonomian atau perusahaan meningkat kegiatannya, utang pun bakal meningkat. Yang penting, utang dialokasikan secara benar dan bisa dibayar kembali. Artinya, utang memang diperlukan pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan fiskal asalkan masih terkendali.

Diketahui, utang luar negeri Indonesia per akhir Januari 2018 sebesar 357,5 miliar dollar AS atau atau sekitar Rp 4.915 triliun yang terdiri dari utang pemerintah dan BI sebesar183,4 miliar dollar AS serta utang swasta 174,2 miliar dollar AS. Sementara, cadangan devisa Indonesia saat ini 131 miliar dollar AS. Ini berarti, volume utang luar negeri kita saat ini 2,7 kali lipat cadangan devisa. Artinya, intensitas utang luar negeri kita kendati secara nominal terus meningkat secara riil menjadi lebih ringan.

Lantas, menakar utang luar negeri kita yang sudah tembus 4 ribu triliun pada batas mana utang itu mampu mendorong keunggulan bangsa dan meningkatkan pembangunan? Sampai pada titik mana, utang itu membebani Negara dan menggadaikan masa depan anak cucu kita?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Enny Sri Hartati (Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)) dan Dr Umar Juoro (ekonom senior Center for Information and Development Studies (CIDES)). [Heri CS]

Berikut diskusinya: