Bagaimana Memperkuat Pengawasan Dana Desa dan Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Mengawalnya?

Alokasi Dana Desa

Semarang, Idola 92.6 FM – Terungkapnya sejumlah desa fiktif antara lain karena tidak memiliki warga yang menerima aliran dana desa di beberapa daerah menjadi peringatan untuk memperkuat mekanisme pengawasan sekaligus verifikasi vaktual desa ataupun penggunaan dana desa. Hal itu mendesak dilakukan agar dana desa yang bertujuan memeratakan kesejahteraan lewat pemberdayaan masyarakat pedesaan menjadi lebih efektif dan tidak membuka peluang penyelewengan.

Apalagi, alokasi dana desa yang menjadi salah satu program unggulan pemerintah terus meningkat yakni dari Rp20,8 triliun pada 2015 menjadi Rp69,8 triliun pada 2019 dan Rp72 triliun pada 2020 untuk sekitar 74.900 desa di Indonesia.

Istilah desa fiktif mengemuka setelah Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati membeberkan fenomena tersebut di hadapan DPR RI beberapa waktu lalu. Tercatat, temuan desa fiktif terdapat di Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara. Terungkap ada 34 desa yang bermasalah. Di 31 desa, meskipun keberadaannya nyata, surat keputusan pembentukan desanya dibuat dengan tanggal mundur sebelum keluar kebijakan moratorium dari Kemendagri. Hal ini menyebabkan pembentukan desa tidak sesuai dengan prosedur untuk menerima dana desa. Sementara itu, 3 desa di antaranya fiktif karena tak ada penduduknya.

Terkait ini, Raghuram Rajam dalam The Third Pillar mengingatkan, komunitas di tingkat lokal perlu dilibatkan dalam alokasi sumber daya dan pembuatan kebijakan sehingga Masyarakat lokal dapat menciptakan solusi dari persoalan mereka sendiri.

Lantas, dalam konteks pengawasan dana desa, upaya apa yang mesti ditempuh pemerintah agar mempersempit ruang penyelewengan? Bagaimana pula meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan dana desa—mengingat sistem Demokrasi mensyaratkan partisipasi?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono dan Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng. (Heri CS)

Berikut diskusinya: