Golput Menjadi Tantangan, Sudahkah Amanat Pendidikan Politik Dijalankan?

Semarang, Idola 92.6 FM – Di tengah waktu yang kian dekat dengan hari hari H-Pemilu Raya 17 April 2019, ancaman golput menjadi salah satu tantangan bagi penyelenggaraan Pemilu. Jumlah golput diperkirakan bisa mencapai 20 persen. Sebab, angka swing voters dan undecided voters masih cukup tinggi, yakni 14 persen dan 9,2 persen. Golongan pemilih yang masih ragu itu diprediksi bakal turut menyumbang angka golput. Golput sejatinya bukan fenomena baru. Golput pun tak dianggap sebagai sebuah pelanggaran di dalam UU Pemilu.

Merujuk pada data, ada kecenderungan penurunan tingkat partisipasi publik dalam Pemilu. Jika tingkat partisipasi pada Pemilu 1999 mencapai 92,74 persen saat Pemilu Legislatif 2014 menjadi 75,11 persen. Penurunan juga terlihat di tingkat partisipasi pemilihan presiden.

Hasil survey Centre for Strategic and International Studies (CSIS) baru-baru ini juga memperlihatkan adanya ancaman terhadap tingkat partisipasi pada Pemilu mendatang. Dalam survei yang dilakukan pada 15 hingga 22 Maret 2019 dengan 1.960 responden di 34 provinsi di Indonesia itu, sekitar 7 persen responden menyatakan berniat berlibur pada hari pemungutan suara.

Lantas, di tengah waktu yang kian dekat dengan hari H Pemilu Raya 17 April–golput menjadi tantangan, kenapa angka partisipasi dari Pemilu ke Pemilu ada kecenderungan terus merosot? Sudahkah amanat pendidikan politik dijalankan? Ke depan/ strategi pendidikan politik seperti apa yang mesti dilakukan untuk meningkatkan kesadaran warga agar tidak buta politik?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Philip Vermont (Researcher at Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta), dan Hendri Satrio (Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Paramadina). (Heri CS)

Berikut diskusinya: