Potensi Golput Jelang Pemilu di Jawa Cukup Tinggi, Apa yang Terjadi?

Semarang, Idola 92.6 FM – Upaya mendelegitimasi demokrasi melalui ajakan untuk tidak menggunakan hak suara atau disebut golongan putih (golput) pada Pemilu 2019 dinilai tinggi sebarannya di Pulau Jawa. Bahkan, terdapat pula ajakan dari oknum-oknum tertentu melalui berbagai unggahan di media social agar menjadi golput.

Temuan itu diperoleh lewat analisis big data Departemen Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (DPP Fisipol) UGM terhadap isu golput yang diperbincangkan lewat twitter dan pemberitaan media daring pada rentang 27 Januari-19 Februari 2019. Dalam kurun waktu itu, ada sekitar 2.840 percakapan golput melalui media sosial. Secara geografis, percakapan paling banyak terjadi di Jawa Barat yakni 21,60 persen. Setelah itu, DKI Jakarta (14,94 persen), dan Jawa Timur (14,64 persen). Adapun Jawa Tengah dan DIY Yogyakarta sekitar 9 persen sedangkan di pulau lain di bawah 1 persen.

Wawan Mas’udi-Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fisipol UGM menilai, ekspresi golput muncul akibat perasaan tak puas terhadap kandidat yang bersaing. Mereka dinilai mempunyai kelemahan mendasar sehingga tak bisa memenuhi keinginan pemilih. Wawan mengkhawatirkan, jika keinginan untuk golput makin tinggi, hal itu membahayakan demokratisasi. Lembaga publik seolah digerus legitimasi dengan ajakan oknum untuk tak memilih

Lantas, tingginya potensi golput di Jawa, apa ini artinya bagi proses demokratisasi kita saat ini—terutama dalam momentum jelang Pemilu yang bersejarah bagi perjalanan bangsa kita? Bagi lembaga penyelenggara Pemilu—bagaimana mestinya menyikapi fenomena semacam ini? Sebagai edukasi bagi publik dan literasi politik—apa sesungguhnya Pemilu dan kenapa kita tak boleh mengajak orang golput meskipun golput juga sebenarnya hak politik warga? Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang mewawancara peneliti senior politik LIPI Prof Syamsuddin Haris. (Heri CS)

Berikut wawancaranya: