Kenapa Harga BBM nonsubsidi Kita Lebih Mahal dari AS dan Malaysia?

Semarang, Idola 92.6 FM – Ada yang menarik dari penurunan harga Bahan Bakan Minyak (BBM) nonsubsidi yang berlaku efektif 5 Januari 2019 lalu. Alih-alih senang, sebagian rakyat Indonesia kurang merespons positif. Ada dua penyebabnya. Merujuk pada politictoday.com.

Pertama, harga minyak mentah dunia sudah turun pada awal Oktober 2018 tetapi penyesuaian harga BBM nonsubsidi baru dilakukan awal Januari 2019. Artinya, pemerintah telat dua bulan lebih dalam penyesuaian harga.

Kedua, penurunan harga minyak dunia mencapai 30 persen dari harga tertingginya. Tapi harga BBM nonsubsidi hanya turun 2%. Rinciannya: harga Pertamax turun Rp200 per liter menjadi Rp10.200 per liter. Sementara, Pertamax Turbo turun Rp250 per liter menjadi Rp12.000 per liter. Ketiga, penurunan harga BBM nonsubsidi Pertamina ini tidak diikuti oleh perusahaan distribusi BBM nonsubsidi lainnya seperti Shell, Total, Vivo, dan lainnya.

Dengan fakta dan data ini, hari ini kita melihat bahwa harga BBM nonsubsidi di Indonesia lebih mahal dari Malaysia dan Amerika. Di Malaysia, harga BBM nonsubsidi RON95 turun sekitar 12,27% setara Rp6.585 per liter. Tragisnya, harga BBM sejenis di Indonesia (misalnya Shell V-power atau Total Performance 95) dibanderol Rp12.350 per liter. Ini sekitar 87,55% lebih mahal dari BBM sejenis di Malaysia. Bagaimana di Amerika Serikat? Harga BBM nonsubsidi jenis BBM RON92 AS sudah turun sekitar 22,94% dibandingkan dengan harga puncaknya per 8 Oktober 2018.

Fenomena ini menggambarkan ada permasalahan serius di negeri ini dalam menetapkan harga barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Padahal, Pasal 33 UUD 1945 menegaskan cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh Negara. BBM nonsubsidi adalah barang atau cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Tapi faktanya distribusinya sekarang sudah tidak dikuasai negara lagi, dan penentuan harganya pun dilepas pada kekuatan pasar yang berpotensi mempunyai kekuatan monopolistik atau oligopolistik.

Lantas, menakar tata kelola BBM-kenapa harga BBM non-subsidi kita lebih mahal dari AS? Bagaimana memperbaiki tata kelola BBM agar sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945? Apa sesungguhnya akar masalah yang membuat Pertamina—sebagai perusahaan minyak negara—masih senantiasa mengalami defisit atau tekor?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Kwik Kian Gie (Pengamat Ekonomi/ Menko Ekuin Era Presiden Gus Dur) dan Kurtubi (Pengamat Perminyakan/ Anggota DPR RI). (Heri CS)

Berikut diskusinya: