Ketika Wacana Amendemen Kian Melebar, Apa Masalah Yang Mendesak Diakomodasi?

Kontroversi Amandemen UUD 1945

Semarang, Idola 92.6 FM – Kekhawatiran bahwa rencana amendemen UUD 1945 akan menjadi bola liar dan melebar ke mana-mana mulai terbukti. Rencana amendemen dari semula hanya untuk menghidupkan GBHN saja, kini muncul wacana untuk mengubah masa jabatan presiden dan wakil presiden. Masa jabatan presiden dan wakil presiden akan dievaluasi dengan dalih agar program pembangunan bisa berkesinambungan. Selain itu, muncul pula gagasan untuk mengembalikan pemilihan presiden dan wapres dilakukan secara tidak langsung melalui MPR.

Sejauh ini, menurut Wakil Ketua MPR Arsul Sani, ada 3 opsi yang berkembang soal masa jabatan presiden dan wapres. Pertama, tetap seperti yang berlaku sekarang, presiden dan wapres memegang jabatan selama lima tahun untuk satu periode dan maksimal menjabat 10 tahun atau dua periode. Kedua, presiden dan wapres bisa menjabat sampai tiga periode berturut-turut atau maksimal 15 tahun. Ketiga, masa jabatan presiden dan wapres dalam satu periode diperpanjang menjadi tujuh hingga delapan tahun. Wacana ini pun memicu polemic di kalangan akademisi dan politisi.

Lantas, ketika wacana amendemen kian melebar, apa masalah yang mendesak diakomodasi? Menimbang wacana menghidupkan GBHN dan perubahan masa jabatan presiden dan wapres–apa plus-minus dari setiap aspek yang diwacanakan?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSako) Universitas Andalas Padang dan pengamat hukum tata negara Feri Amsari, MH. (Heri CS)

Berikut diskusinya: