Menyoroti Wacana Amendemen UUD 1945, Apa Implikasinya? Dan Bagaimana Sikap Kita?

Wacana Amendemen UUD 1945
(ilustrasi: kumparan.com)

Semarang, Idola 92.6 FM – Salah satu isu ketatanegaraan yang mengemuka belakangan ini yakni adanya upaya amendemen kembali UUD 1945 dan memasukkan perubahan atas Pasal 7 UUD tentang masa jabatan presiden.

Konon, upaya itu untuk mengubah agar tak lagi wajib hanya dua periode masa jabatan tetapi membuatnya menjadi lebih fleksibel sehingga bisa lebih dari dua kali.

Meski MPR sudah membantah dengan mengatakan hingga saat ini tak ada usulan perubahan dan inisiasi wacana mengubah Pasal 7 UUD 1945.

Presiden juga sudah menyampaikan klarifikasi… dia tetap tegak lurus pada konsep dua periode seperti tercantum dalam UUD saat ini dan tak ada niat menuju 3 kali periode masa jabatan.

Namun, menurut Zainal Arifin Mochtar, Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM/ apakah kedua keterangan itu dengan seketika menyelesaikan isu ketatanegaraan tersebut? Jawabnya, belum tentu. Karena, memang pada dasarnya tak ada asap jika tak ada api. Asapnya tentu saja berupa: pertama, pada faktanya MPR kelihatannya kembali menginisiasi amendemen kelima dengan isu tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), dan kedua, dinamisnya kehidupan politik sehingga bisa jadi mengalami perubahan cepat.

Apalagi, beberapa tahun lalu, Bambang Soesatyo yang saat ini Ketua MPR termasuk orang yang cukup antusias dengan ide itu. Artinya, ada yang harus lebih dalam terverifikasi agar tidak menjadi bola liar bagi siapa saja.

Lalu, menyoroti wacana Amendemen UUD 1945: Apa implikasinya? Dan bagaimana sikap kita?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Zainal Arifin Mochtar (Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM Yogyakarta); Arsul Sani (Wakil Ketua MPR RI); dan Aditya Perdana (Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia). (her/andi odang)

Dengarkan podcast diskusinya: