Masyarakat yang Permisif terhadap Politik Uang dan Arah Demokrasi Kita, Benarkah Uang Menjadi Panglima?

Politik Uang (Ilustrasi: Beritagar)

Semarang, Idola 92.6 FM – Politisi Swedia menggunakan bus umum, tidak ada mobil resmi, pembantu pribadi, kekebalan. Mungkin terdengar menarik, bahwa negara Swedia ternyata sama sekali tidak menawarkan kemewahan atau hak istimewa kepada para politisinya yang menjadi anggota DPR atau anggota Kabinet. Di mana mereka hidup sederhana seperti warga negara biasa lainnya.

Para menteri dan Anggota Parlemen Swedia (MPS) tidak memiliki mobil dinas atau sopir pribadi, sehingga mereka mesti bepergian dengan naik angkutan umum, seperti bus dan kereta api. Fakta ini seperti dikutip dari The Guardian. Selain itu, para menteri dan anggota legislatif di Swedia tidak memiliki kekebalan parlementer atau immunity dan diadili di pengadilan umum seperti warga lainnya. Hal lain yang menarik untuk dicatat tentang politisi adalah bahwa mereka tidak memiliki sekretaris pribadi, dan harus bekerja di kantor mereka yang hanya berukuran 8 meter persegi.

Fakta di atas, begitu kontras jika kita melihat realita di Tanah Air. Sebagian politisi kita justru seolah menunjukkan gaya hidup mewah. Tak hanya itu, para menteri dan wakil rakyat kita yang terhormat juga berlimpah fasilitas. Ini tentunya membuat makin banyak orang berlomba-lomba menjadi politisi dan pejabat publik. Dan celakanya, kontestasi yang tak sehat antarpolitisi dan diperparah masih belum memadainya literasi politik masyarakat kita—membuat praktik curang terjadi untuk meraih kemenangan—salah satunya melalui politik uang. Masyarakat kita pun permisif pada praktik politik uang. Praktik politik uang dianggap lumrah—padahal sejatinya ini menodai nilai demokrasi.

Hal itu terlihat dalam hasil survei yang dilakukan Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) beberapa waktu lalu terhadap 1.500 responden. Salah satu hasilnya, hampir separuh responden mengatakan, politik uang masih banyak terjadi. Selain itu, 46,7 persen responden menganggap pemberian dari calon atau peserta Pemilu merupakan hal wajar atau bisa dimaklumi.

Lantas, melihat fenomena masyarakat yang permisif terhadap politik uang, benarkah uang menjadi Panglima? Lalu, jika praktik ini dilanggengkan akan ke mana arah demokrasi kita? Jalan panjang apa yang mesti ditempuh untuk memperbaiki kondisi ini?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Wawan Ichwanuddin (Koordinator Tim Survei Pusat Penelitian Politik LIPI) dan Titi Anggraini (Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)). (Heri CS)

Berikut diskusinya: