Mempertanyakan Urgensi Pemindahan Ibu Kota Negara, Sebegitu Mendesakkah?

Semarang, Idola 92.6 FM – Presiden Joko Widodo resmi mengumumkan lokasi ibu kota negara baru yang akan menggantikan Jakarta. Ibu kota baru itu terletak di dua kabupaten di Kalimantan Timur yakni Kabupaten Paser Utara dan Kutai Kertanegara.

Ada beberapa alasan kenapa dua tempat itu yang dipilih Presiden. Di antaranya, risiko bencana minimal, baik bencana banjir, gempa bumi, tsunami, kebakaran hutan dan tanah longsor. Kemudian, lokasi yang strategis berada karena di tengah Indonesia juga berdekatan dengan wilayah perkotaan yang sudah berkembang.

Direncanakan, pada tahun 2020 akhir pemerintah akan memulai konstruksi, dan pada 2024, pemindahan akan dilakukan secara bertahap. Berdasarkan data Bappenas, dana yang dibutuhkan untuk membangun ibu kota baru sekitar Rp486 triliun. Ini tentunya bukan biaya yang sedikit.

Namun, sejumlah pihak mengkritisi dan mempertanyakan urgensi kebijakan pemindahan ibu kota negara itu. Pemerintah diminta untuk meninjau ulang rencana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Pulau Kalimantan. Pada era digital ini, urgensi pemindahan Ibu Kota menjadi pertanyaan.

Sebab banyak negara yang lebih kompleks persoalannya dibanding Jakarta namun tetap mempertahankan ibu kotanya seperti Tokyo-Jepang, dan Seoul-Korea Selatan. Tokyo diketahui, dihuni 2/3 penduduk Jepang, dan Seoul diketahui menjadi salah satu kota megapolitan terpadat di dunia. Selain itu, dari kacamata ekonomi, rencana pemindahan ibu kota itu dinilai tidak akan mendatangkan dampak signifikan terhadap perbaikan pertumbuhan ekonomi nasional bila dilakukan saat ini.

Lantas, mempertanyakan urgensi Pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur—sebegitu mendesakkah? Hal-hal apa saja yang mestinya dipertimbangkan pemerintah atas kebijakan ini?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Yayat Supriatna (Pengamat Perkotaan/ dosen teknik Planologi dari Universitas Trisakti); Fadhil Hasan ( Ekonom Senior INDEF), dan Dr Bayu Dwi Anggono (ahli hukum tata negara Universitas Jember). (Heri CS)

Berikut diskusinya: