Menakar Polemik Format Baru Debat Kandidat Capres-Cawapres 2019

Semarang, Idola 92.6 FM – Secara harafiah, berdasar Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), debat dimaknai sebagai pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Dalam penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden, debat merupakan salah satu metode kampanye untuk menyampaikan visi, misi, dan program pasangan calon presiden agar bisa didengar dan dipelajari oleh masyarakat.

Akan tetapi, karena debat ini memiliki tema spesifik yang berkaitan dengan orang banyak, maka selain penyampaian visi, misi, dan program pasangan calon–perlu diuji pula sejauh mana autentisitas pemahaman dan kedalaman pasangan calon terkait isu-isu penting dan kondisi faktual dari setiap tema perdebatan. Selain itu, hakikat debat tidak hanya untuk menyosialisasikan visi, misi, dan program tetapi juga menguji orisinalitas respons dan pandangan pasangan capres terhadap kondisi faktual, pandangan-pandangan pasangan calon terhadap ruang lingkup tema perdebatan yang tidak bisa dibatasi.

Namun, kini muncul polemik terkait dengan metode KPU yang akan memberikan semua daftar pertanyaan kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden. KPU seolah memberikan kisi-kisi materi pertanyaan layaknya ujian sekolah bagi para siswa.

Diketahui, KPU memutuskan menggunakan sistem yang berbeda pada debat perdana Pilpres 2019 yang digelar 17 Januari 2019 yaitu menggabungkan pertanyaan terbuka dan tertutup atau setengah tertutup. Pada sistem terbuka, KPU akan mengirimkan terlebih dahulu pertanyaan debat kepada kedua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, sementara pada sistem tertutup pertanyaan berasal dari masing-masing paslon.

Langkah KPU tersebut menuai kritik dari sejumlah pihak. Beberapa pihak ini menilai, seharusnya, pertanyaan diberikan kepada peserta langsung pada saat debat digelar sehingga mereka dapat menjawab secara spontan.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menilai, posisi KPU terlihat lemah dan tidak jelas dalam mengatur proses teknis debat capres-cawapres. Sikap KPU ini, menurut Ray juga potensial merugikan publik sebagai pemilih. Di tengah maraknya nyinyirisme kampanye, isu SARA dan politik identitas yang menyeruak, penyampaian visi misi secara dini dan luas itu kiranya akan dapat membantu mengarahkan kembali isu pilpres ke hal-hal yang lebih subtantif.

Sementara Wakil Ketua DPR RI-Fahri Hamzah menilai, cara KPU mengelompokkan soal-soal dan memberikan ke tim kandidat tidak tepat. Langkah KPU membuat hak publik untuk mendapatkan gagasan capres maupun cawapres secara mendalam tidak didapatkan. Dengan format ini, Fahri menganggap debat ini sama halnya seperti format cerdas cermat.

Lantas, memahami persoalan ini, apa sebenarnya tujuan debat kandidat Capres-Cawapres? Kalau debat dalam kontestasi itu dipahami sebagai tolok ukur pemahaman dan penguasaan kandidat atas sejumlah isu, relevankah KPU memberikan semua daftar pertanyaan kepada kandidat? Tidakkah ini, seolah menyuguhkan hafalan jawaban seperti halnya ujian sekolah? Lalu, bagaimana sebenarnya format debat capres yang ideal?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini; Pemerhati Pemilu dan Pengamat Politik Ray Rangkuti; dan Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan. (Heri CS)

Berikut diskusinya: