Mendorong Bangsa Agar Tidak Menyepelekan Masalah yang Tak Tampak dan Menatap Masa Depan lewat Urusan “Belakang”, Melihat Sanitasi Masyarakat Kita?

Semarang, Idola 92.6 FM – Secara kultur harus diakui, sebagian masyarakat kita mengidap budaya hipokrit–sifat yang mempunyai arti ‘munafik’ atau orang yang suka berpura-pura. Kita cenderung menutup-nutupi hal-hal di belakang sehingga tak kelihatan oleh orang lain. Padahal, persoalan itu tak kalah vitalnya dengan kebutuhan lain yang berada di permukaan.

Dalam konteks lain, ini seperti yang dilakukan pemerintah dalam pembangunan. Yang cenderung ditampilkan dan digaungkan lebih pada pembangunan infrastruktur yang terlihat megah dan terlihat menyolok jepretan kamera–seperti jalan raya, pelabuhan, terminal, gedung megah, hingga jalan tol.

Tanpa bermaksud melebih-lebihkan dan menafikan manfaat infrastruktur tersebut, kita kurang melihat –atau katakanlah masih sedikit melihat peresmian hal-hal yang jarang terlihat karena berada di belakang sehingga tak tampak. Misalnya, system sanitasi yang memadai bagi masyarakat dalam upaya mengurangi kasus buang air besar sembarangan (BABS). Padahal, infrastruktur penunjang kualitas kesehatan yang memadai menjadi salah satu ukuran kemajuan peradaban sebuah bangsa. Apalagi, kita juga tengah dihadapkan pada berbagai persoalan mulai dari menyiapkan generasi muda menyongsong revolusi Industri 4.0, Puncak Bonus Demografi 2020-2030, hingga Indonesia Emas 2045.

Dalam upaya mewujudkan itu semua, perlu didukung dengan kualitas hidup manusianya. Aspek ini penting karena keberhasilan pembangunan Indonesia di masa depan akan sangat ditentukan tingkat kualitas dan produktivitas masyarakat Indonesia.

Dan, terkait ini, satu hal penting yang sering terlupakan adalah layanan dasar untuk urusan “belakang” yaitu layanan sanitasi pengelolaan air limbah domestik atau air tinja manusia. Meskipun ini urusan belakang, urusan ini merupakan urusan terdepan karena sangat terkait dengan kualitas hidup masyarakat yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi pada peningkatan produktivitas manusia Indonesia dan menentukan keberhasilan pembangunan di masa depan.

Dan jika melihat data, kita seolah miris, merujuk data WHO pada tahun 2015, terdapat sekitar 32 juta orang Indonesia yang masih buang hajat di tempat terbuka. Dalam hal buang hajat sembarangan, Indonesia menduduki peringkat dua setelah India.

Merujuk pada opini Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro dalam opininya di harian Kompas (25/02/2019) mengungkapkan, pengelolaan urusan “belakang” yang buruk telah terbukti menyebabkan kerugian ekonomi di sejumlah Negara.Wilayah Asia Pasifik menderita kerugian ekonomi terparah akibat sanitasi buruk yaitu sebesar 77 persen dari total kerugian global. Hampir setengah dari kerugian itu ditanggung oleh India dengan jumlah produk domestik bruto (PDB) yang hilang sebesar 106,7 miliar dollar AS atau sekitar Rp1.589 triliun pada tahun 2015. Sementara, di Indonesia, kerugian ekonomi akibat sanitasi buruk mencapai Rp56 triliun atau sekitar 2,3 persen dari PDB Indonesia tahun 2006.

Lantas, melihat kondisi ini, bagaimana mendorong bangsa agar mulai tidak menyepelekan masalah-masalah yang tak tampak atau di belakang seperti persoalan sanitasi? Seberapa tinggi sebenarnya konsen pemerintah pada persoalan mengatasi sanitasi dan BABS?
Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: dr.Imran Agus Nurali Sp.KO (Direktur Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan RI) dan Wicaksono Sarosa, PhD (Director and Chief Knowledge Worker). (Heri CS)

Berikut diskusinya: