Merefleksi Arah Demokrasi, Benarkah Kita Sedang Memeragakan Demokrasi Jual Beli?

Semarang, Idola 92.6 FM – Dua undang-undang yang disahkan DPR di akhir masa jabatannya seolah makin mempertontonkan watak asli DPR kita. Watak itu antara lain, Politik hanya seperti komoditas yang ditransaksikan. Demokrasi hanya jual beli.

Merujuk Tajuk Rencana Kompas (18/09/2019), persetujuan pemerintah dan DPR merevisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3 menjadi contoh terang benerang bagaimana watak kekuasaan bekerja hanya untuk membagi kekuasaan untuk kepentingan dirinya sendiri. Revisi UU MD3 menambah jumlah pimpinan MPR dari lima menjadi 10 orang. Langkah itu hanya untuk berbagi kekuasaan dan ujung-ujungnya menambah beban anggaran.

Pada hal lain, pemerintah dan DPR menyetujui revisi UU KPK. Revisi UU KPK seolah “melumpuhkan” kewenangan pimpinan KPK dan menjadikan Dewan Pengawas sebagai penguasa baru di KPK. Sebab, semua tindakan yang diambil KPK seperti menyadap, menyita, menggeledah, harus mendapat izin tertulis dari Dewan Pengawas yang untuk pertama kalinya akan ditunjuk Presiden.

Melihat fenomena adu cepat pemerintah dan DPR menyelesaikan legislasi di akhir masa jabatannya, kita seolah melihat praktik jual beli atau “dol tinuku”. Politik jual beli menjadikan prinsip politik now and never.

Lantas, merefleksi arah demokrasi, benarkah kita sedang memeragakan demokrasi jual beli? Jika demikian—lalu ke mana spirit musyawarah-mufakat untuk keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia? Bagaimana keluar dari situasi ini?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun dan Direktur Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti. (Heri CS)

Berikut diskusinya: