Bagaimana Meningkatkan Inklusi Keuangan untuk Mempercepat Pemulihan Ekonomi di Tengah Pandemi?

Inklusi Keuangan

Semarang, Idola 92.6 FM – Istilah financial inclusion atau keuangan inklusif menjadi tren pasca krisis 2008. Ketika krisis meluluh-lantakkan kehidupan kelompok yang berada di “the bottom of the pyramid”, yaitu mereka yang pendapatan rendah dan tidak teratur, tinggal di daerah terpencil, orang cacat, buruh yang tidak mempunyai identitas legal, dan masyarakat pinggiran. Umumnya mereka ini adalah golongan unbanked atau tidak memiliki akses ke institusi keuangan.

World Bank mendefinisikan istilah inklusi keuangan, sebagai akses terhadap produk dan layanan jasa keuangan seperti transaksi, pembayaran, tabungan, kredit dan asuransi yang digunakan secara bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Singkatnya, akses keuangan amat penting pada kehidupan masyarakat. Sebab, jika kita tengok di sekitar kita, rata-rata masyarakat miskin, berpendapatan rendah, dan tinggal di daerah terpencil, tidak memiliki akses keuangan.

Bulan Oktober yang baru saja kita lalui―diperingati sebagai bulan inklusi keuangan. Tahun ini fokus peringatan adalah mempercepat pemulihan ekonomi nasional melalui sinergi yang lebih baik antara kementerian dan lembaga layanan jasa keuangan. Langkah pemerintah ini patut diapresiasi. Sebab, Pandemi Covid-19 telah melumpuhkan perekonomian nasional. Terlebih lagi, bahkan sebelum ada Pandemi pun kita sudah dihadapkan pada problem masih rendahnya aspek inklusi keuangan.

Tahun ini Indonesia diprediksi memasuki resesi. Untuk bisa bangkit dari resesi dan mencegah sebagian besar masyarakat menurun kualitas hidupnya, atau menjadi miskin—maka perekonomian sebagian besar warga harus segera bergerak. Dan untuk itu, literasi keuangan khususnya akses keuangan perbankan menjadi penting.

Sebab, sektor keuangan menjadi salah satu pilar penting dalam pembangunan inklusif. Kita mencatat, meskipun terus tumbuh, sektor keuangan belum inklusif dan belum dinikmati merata. Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memperlihatkan pada Agustus 2020 dari 330.811.482 rekening simpanan di perbankan, sebanyak 89,6 persen terdaftar di Jakarta. Sederhananya, di Jakarta satu orang bisa memiliki lebih dari satu atau dua rekening, sehingga jumlah orang yang memiliki rekening di perbankan diperkirakan kurang dari separuh penduduk.

Berdasarkan survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tahun 2019, Indeks inklusi keuangan Indonesia 76,19 persen. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain, inklusi keuangan kita masih tergolong rendah. Singapura mencapai 98 persen, Malaysia 85 persen, dan Thailand 82 persen. Oleh karena itulah, presiden Jokowi menargetkan pada 2023-2024 tingkat inklusinya sudah bisa mencapai 90 persen.

Mengingat begitu pentingnya inklusi keuangan, lalu bagaimana meningkatkan inklusi keuangan untuk mempercepat pemulihan ekonomi yang kian merosot akibat Pandemi Covid-19? Langkah apa saja yang mesti ditempuh untuk mempercepatnya? Adanya platform digital—sudahkah sarana itu bisa dijadikan jaring untuk memperluas jumlah masyarakat agar memiliki akses keuangan di perbankan?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Enny Sri Hartati (Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)); Triyono (Kepala Grup Inovasi Keuangan Digital OJK (Otoritas Jasa Keuangan)); Prof Nunung Nuryartono (Guru Besar dan Dekan Fakultas ekonomi dan manajemen IPB University); dan Dr. Anis Byarwati (Anggota DPR Komisi XI Fraksi PKS). (andi odang/her)

Dengarkan podcast diskusinya: