Mencermati Posisi Yasonna Laoly sebagai Menkumham, sekaligus Tim Hukum PDIP dalam Kasus Harun Masiku, Benarkah Secara Legal dan Patutkah Secara Etis?

Yasonna Laoly (kiri)
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto (kanan) didampingi Ketua DPP Bidang Hukum, HAM dan Perundang-Undangan Yasonna Laoly (kiri) saat menyampaikan keterangan pers di kantor DPP PDIP, Jakarta, Rabu (15/1/2020). (ANTARA PHOTO)

Semarang, Idola 92.6 FM – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap menjadi lembaga yang diharapkan mampu menangani korupsi yang masih menjadi problem bangsa ini. Pemberlakuan undang-undang baru menjadi tantangan KPK untuk membuktikan tetap bisa diandalkan dalam memberantas korupsi.

Setelah revisi Undang-undang KPK, pada awal 2020, dalam rentang waktu yang berdekatan, KPK menangkap tangan Bupati Sidoarjo, Jawa Timur Saiful Ilah dan mantan anggota KPU Wahyu Setiawan. Saiful Ilah ditangkap karena dugaan suap terkait pengadaan proyek infrastruktur di Sidoarjo. Sementara, Wahyu, ditangkap terkait dugaan suap proses pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR yang melibatkan calon anggota legislatif dari PDI Perjuangan.

Di tengah, apresiasi publik yang tinggi pada lembaga KPK dalam format baru—di mana ada Dewan Pengawas—ternyata, publik tak perlu menunggu waktu lama untuk dibuat terkejut dan kaget. Di tengah proses penyelidikan dan kasus hukum yang masih berjalan, Pimpinan KPK diduga merombak para personel penyidik yang menangani dugaan suap Wahyu Setiawan.

Selain itu, kita juga dihadapkan pada praktik—yang dinilai kurang patut secara etik—diperagakan oleh pejabat publik kita dalam pusaran kasus OTT KPK. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menjadi salah satu anggota tim hukum PDI Perjuangan dalam melawan KPK terkait Harun Masiku. Bergabungnya Yasonna dalam tim hukum PDI-P, dinilai oleh sejumlah pihak rawan konflik kepentingan, meskipun tidak melanggar undang-undang. Mereka juga menilai, tidak etis jika seorang menteri tergabung dalam tim hukum partai untuk melawan lembaga pemberantasan korupsi.

Lantas, mencermati posisi Yasonna Laoly—sebagai Menkumham, sekaligus tim hukum PDIP—dalam kasus Harun Masiku. Benarkah secara legal, dan patutkah secara etis? Kemudian, apa upaya yang mesti dilakukan agar ke depan, posisi ambigu yang rawan konflik kepentingan seperti itu bisa dihindari?

Guna mendiskusikan ini, kami akan berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Charles Simamora peneliti Pusat Kajian Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Padang dan Haris Azhar (Direktur Lokataru Foundation). (Heri CS)

Berikut diskusinya: