Menelaah Omnibus Law RUU Cipta Kerja: Bagaimana Kanalisasi Aspirasi yang Sah Secara Konstitusional Demi Perbaikan dan Kemaslahatan Publik?

OmnibusLaw Ilustrasi

Semarang, Idola 92.6 FM – Pemerintah menargetkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang akan segera dibahas di DPR bisa selesai tidak lebih dari 100 hari. Sebab, keberadaan Omnibus Lawa ini harapannya mampu segera mengatasi berbagai problem regulasi dan tumpang tindih aturan antara Pusat dan Daerah. Namun, hingga kini, gelombang aksi penolakan terhadap sejumlah materi draf dalam RUU Cipta Kerja terus terjadi.

Ini berarti perbaikan dan penyempurnaan substansi RUU Cipta Kerja memerlukan masukan dan pendapat masyarakat. Karena itu, ruang kebebasan berpendapat—termasuk kritik untuk perbaikan dan penyempurnaan RUU agar bisa diterima semua pihak sangat diperlukan. Sebab, di alam demokrasi dewasa ini, perbedaan pendapat atau pandangan terhadap suatu masalah dalam sebuah RUU pasti terjadi. Apalagi, terkait RUU Omnibus Law—yang tak hanya kompleks isinya tetapi juga relatif singkat dan cenderung tertutup dalam penyiapan naskah rancangannya.

Namun, di tengah upaya itu, kita patut menyayangkan peristiwa yang terjadi di Jakarta baru-baru ini. Menurut Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), ada laporan dugaan pembubaran diskusi RUU Cipta Kerja oleh oknum polisi yang diselenggarakan sebuah kelompok masyarakat.

Aksi pembubaran diskusi yang terjadi tak sejalan dengan semangat konstitusi yang menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi. Selain itu, partisipasi publik sejatinya merupakan bagian penting dalam sistem demokrasi. Terkait pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai Pasal 88 Ayat (1) UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan, kewajiban penyebarluasan naskah akademik dan draft RUU dilakukan sejak penyusunan Program Legislasi Nasional, penyusunan RUU, pembahasan RUU, hingga pengundangan. Diperlukan penyebarluasan untuk memberi informasi dan mendapat masukan public serta pemangku kepentingan.

Lantas, menelaah polemik Omnibus Law RUU Cipta Kerja: bagaimana kanalisasi aspirasi yang sah secara konstitusional demi perbaikan dan kemaslahatan publik? Bagaimana mestinya negara memposisikan aspirasi dan kritik warga—kenapa justru muncul dugaan pembubaran diskusi? Tidakkah ini sebuah pembungkaman atas suara publik?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Wahyudi Djafar (Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) dan Bayu Dwi Anggono (Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember). (Heri CS)

Berikut diskusinya: