Mengapa Tren Calon Tunggal Lawan Kotak Kosong Terus Meningkat dalam Pemilihan Kepala Daerah?

Pilkada lawan kotak kosong
(ilustrasi)

Semarang, Idola 92.6 FM – Sekitar 28 daerah yang menggelar pilkada tahun 2020 berpotensi besar diikuti satu pasangan calon. Apakah ini akibat adanya politik pragmatis, atau konsekuensi sistem pemilu?

Pendaftaran calon kontestan pilkada tahun 2020 resmi dibuka Jumat (04/09). Merujuk dinamika politik yang terjadi, setidaknya pemilihan kepala daerah di 28 daerah berpotensi besar diikuti calon tunggal.

Lembaga pemantau pemilu menyebut tren calon tunggal melawan kotak kosong terus meningkat setiap tahun. Pada pilkada serentak 2015, ada tiga daerah yang memiliki satu pasangan calon. Jumlah itu kemudian meningkat pada pilkada serentak 2017, jumlah pasangan calon yang melawan kotak kosong menjadi sembilan pasangan. Dan pada pilkada serentak 2018, jumlah calon tunggal meningkat menjadi 12 daerah.

Muncul kekhawatiran, demokratisasi yang diharapkan dalam pemilihan kepala daerah secara langsung bakal semakin terkikis oleh politik pragmatis. Lalu, apa sesungguhnya yang menyebabkan tren calon tunggal terus meningkat dalam pemilihan kepala daerah?

Sedikitnya ada tiga hal:

  • Pertama, karena kedua belah pihak saling berkepentingan, yaitu petahana dan partai politik. Petahana berkepentingan untuk menjaga status quo, agar tetap berkuasa dengan cara ‘memborong partai’. Sementara itu, partai-partai berkepentingan untuk menang dengan cara mendompleng petahana.
  • Kedua, partai gagal melakukan kaderisasi, serta terjadi krisis kepemimpinan. Alih-alih menjadi bagian dari institusi sosial untuk menyiapkan calon-calon pemimpin, partai terkesan hanya digunakan untuk kepentingan yang sifatnya pragmatis oleh para elitenya. Atau kalau dalam ungkapan sarkastis, partai politik lebih memilih meng-outsourching kader dari luar ketimbang melahirkan kader dari dalam dengan sistem merit.
  • Ketiga, keberadaan calon tunggal tidak terlepas dari beratnya persyaratan untuk menjadi kandidat, baik melalui jalur partai politik maupun jalur perseorangan (independen). Ujung-ujungnya bagi yang ingin maju menjadi calon kepala daerah, mereka harus mengeluarkan biaya yang besar. Sehingga, bisa dikatakan, pilkada hanya disediakan bagi mereka yang punya dukungan modal besar. Hal inilah antara lain yang menyebabkan orang-orang yang memiliki kredibilitas dan kapasitas sebagai calon pemimpin kepala daerah, tidak memiliki kesempatan untuk ikut dalam kontestasi tersebut.

Lantas, menyoroti kian maraknya fenomena calon tunggal dalam Pilkada 2020, apa yang bisa kita lakukan, kalau parpol belum mampu menunaikan tugasnya menjadi institusi sosial―yang menyiapkan para calon pemimpin? Adakah jalan perbaikan, ditingkat Undang-Undang, mengingat para legislator yang membuat undang-undang―adalah parpol itu sendiri? Lalu, haruskah kita tetap memberikan “cek kosong” kepada para politisi, padahal di tangannya lah hampir semua hajat hidup rakyat ditentukan? Adakah jalan keluar dari lingkaran yang tak berujung ini?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Charles Simabura (Peneliti Pada Pusat Studi Konstitusi (Pusako)/ Dosen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Andalas Padang); Ferry Kurnia Rizkiyansyah (Peneliti Senior di Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit)/ Mantan Anggota KPU); Aditya Perdana (Kepala Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia); dan Arsul Sani (Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP)). (andi odang/her)

Berikut podcast diskusinya: