Menyoroti Ancaman Kebebasan Akademik; Di Antara Kepentingan Pragmatis dan Tanggung Jawab Publik

Ilustrasi
(Ilustrasi: suarakebebasan.id)

Semarang, Idola 92.6 FM – Nicholaus Copernicus (1473-1543)―seorang astronom Polandia―melalui observasi empirik dan perhitungan matematik yang cermat tiba pada kesimpulan yang menyatakan bahwa Mataharilah pusat yang dikitari oleh benda-benda angkasa lainnya (heleocentrism).

Namun pihak Gereja―sebagai pusat wewenang atau pemegang otoritas kebenaran waktu itu―berpegang pada geosentrisme di mana bumi lah pusat semesta―sebagai ajaran resmi, menganggap heleosentrisme sebagai penyimpangan dan penganutnya bisa dikenai hukuman ekskomunikasi.

Karena kuatir menghadapi konsekuensinya, maka Copernicus menangguhkan penerbitan karyanya yang berjudul “De Revolutionibus Orbium Coelestium” sampai hampir 20 tahun.

Baru pada abad ke-12 cikal bakal perguruan tinggi dapat dijumpai di Paris yang dengan bermunculannya pusat-pusat belajar.
Seiring dengan perkembangan itu, pergaulan dalam kalangan ilmuwan dan cendekiawan di Paris makin meluas. Mereka ini kemudian membentuk sebuah perhimpunan yang disebut universitas magistrorum et schofarum.

De Revolutionibus Orbium Coelestium
De Revolutionibus Orbium Coelestium.

Dewasa ini, di tengah banyaknya perguruan tinggi baik dalam bentuk universitas maupun sekolah tinggi, maka pusat-pusat ilmu pengetahuan begitu mudah dijumpai. Kebebasan mengeluarkan ide/pendapat atau yang dalam dunia akademik disebut sebagai kebebasan akademik menimbulkan banyak pertentangan-pertentangan. Sifat kritis inilah yang menjadi warna proses perkembangan ilmu pengetahuan untuk mencapai tingkat kebenaran.

Dalam kampus sifat kritis menjadi cermin kekuatan ilmu pengetahuan. Sementara Mahasiswa selalu menjadi simbol kekuatan ilmu pengetahuan tersebut. Hubungan mahasiswa dan pengajar (dosen) bukan semata memiliki hubungan antara murid dengan guru, melainkan sebuah interaksi yang unik dalam bingkai apa yang disebut kebebasan akademik.

Ilustrasi
(Ilustrasi: mahkamahnews.org)

Tetapi kini, kebebasan akademik itu mulai terancam. Meski masih menjalankan perannya sebagai kaum intelektual yang menyumbangkan buah pemikirannya demi kepentingan negara akan tetapi kampus juga menghadapi tekanan ketika memegang teguh prinsip untuk kritis dan aspiratif.

Tekanan terhadap kebebasan mimbar akademik yang makin kuat itu membuat sebagian akademisi menjadi pragmatis. Fenomenanya, kini mulai banyak kampus yang berorientasi melayani kekuasaan dan pasar. Seorang Guru Besar misalnya, akan rela dan bersuka cita menjadi staf Menteri, dari pada mengajar para mahasiswa. Maka tak heran, pada saat terjadi pro-kontra Omnibus Law UU Cipta Kerja, beberapa rektor perguruan tinggi melayangkan puja-puji meski para pengajar dan mahasiswanya turun ke jalan untuk berunjuk rasa.

Ilustrasi
(Ilustrasi: lpmkeadilan.org)

Merespon kondisi itulah, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) baru-baru ini menggelar pertemuan tahunan secara daring. Mereka mencatat, tekanan pada kebebasan akademik marak terjadi pada 2020. Hal itu meliputi serangan siber pada aktivitas akademik, intervensi kampus dan lembaga riset oleh otoritas negara, serta pembubaran penerbitan mahasiswa.

Tapi, benarkah kini otonomi kampus terancam, sehingga Tri Dharma Perguruan Tinggi yang di antaranya mengamanatkan pengabdian masyarakat jadi tak berjalan? Lalu, bagaimana jalan keluarnya?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni Dr. Herlambang Wiratraman (Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA)/ Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya); Asfinawati (Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)); dan Prof Masdar Hilmy (Rektor UIN Sunan Ampel). (andi odang/her)

Dengarkan podcast diskusinya: