Semarang, Idola 92.6 FM – Melihat sejenak sejarah dibentuknya, KPK dahulu dibentuk ketika lembaga penegak hukum yang lain masih belum selesai dengan persoalan lembaganya masing-masing. Berdirinya KPK didasari atas keadaan institusi kejaksaan dan kepolisian yang kotor, sehingga dinilai tidak mampu menangani kasus korupsi di Indonesia.

Kini, KPK seolah dihadapkan pada problem yang sama. Berbagai pelanggaran di internal KPK membuat KPK saat ini dinilai tengah dalam kondisi kritis. Hal itu terutama, pasca terungkapnya kasus pemerasan yang dilakukan oleh penyidik KPK Stephanus Robin Patuju terhadap Wali Kota Tanjungbalai Sumatera Utara M Syahrial.

Menurut Mantan Wakil Ketua KPK 2015-2019 Saut Situmorang, saat ini tidak hanya sistem di KPK yang hancur! Tetapi, juga nilai-nilai yang selama ini dipegang KPK.

Atas kasus ini, sejumlah kalangan menilai, sistem pengawasan di internal lembaga itu mendesak dibenahi agar kepercayaan publik yang menjadi kekuatan KPK tidak semakin tergerus. Apalagi, sudah sejak lama, pasca revisi UU KPK—kepercayaan publik pada KPK juga sudah semakin merosot.

Lalu, jika KPK masih menjadi satu-satunya lembaga yang kita andalkan dalam pemberantasan korupsi dan saat ini berada titik kritis, upaya apa yang mesti segera dilakukan untuk memulihkan kepercayaan publik pada KPK? Jika komitmen penegakan etika menjadi kekuatan KPK untuk dipercaya masyarakat, bagaimana upaya menegakkan kekuatan itu kembali?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Zaenur Rohman (Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Yogyakarta); Charles Simabura (Peneliti Pada Pusat Studi Konstitusi ( PUSaKO)/ Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang); dan Boyamin Saiman (Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI)). (her/ yes/ ao)

Dengarkan podcast diskusinya: