Kalau Ambang Batas Presiden Dianggap Melanggengkan Praktik Politik Uang, Lalu Kenapa Tetap Dipertahankan?

Presidential Threshold (Ilustrasi)

Semarang, Idola 92.6 FM – Presidential Threshold atau ambang batas adalah perolehan suara minimal yang harus diperoleh oleh partai politik untuk dapat mengajukan calon presiden dinilai sebagai salah satu faktor yang mendukung maraknya praktik politik uang. Oleh karenanya, perlu direvisi agar tidak melanggengkan pelanggaran Pemilu.

Menurut Kepala Pusat Penelitian LIPI Firman Noor dalam sebuah diskusi yang digelar oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), keberadaan presidential threshold telah memaksa partai-partai untuk berkoalisi. Imbasnya, muncul mahar politik. Oleh karenanya, menurut Firman, Ambang Batas adalah sebuah petaka karena mengharuskan terbentuknya koalisi kemudian terjadi politik uang, mahar, sehingga ujung-ujungnya korupsi. Dan hal ini, juga didukung oleh hasil penelitian LP3ES, di mana sebanyak 46,7 persen masyarakat bersikap permisif terhadap politik uang.

Masih menurut catatan LP3ES, dalam beberapa waktu terakhir, didapati pola koalisi yang dibentuk secara tidak linier antara partai di tingkat pusat dengan daerah. Koalisi juga terbentuk bukan atas dasar ideologi, melainkan faktor “itung-itungan” probalitas kemenangan calon.

Kita ketahui, sudah beberapa kali soal ambang batas presiden ini digugat oleh sejumlah tokoh ke Mahkamah Konstitusi namun selalu ditolak. Dan, terkini, dalam draf revisi undang-undang pemilu (RUU Pemilu) yang tengah dibahas, tetap mencantumkan presidential threshold 20 persen. Angka yang sama sekali tidak berubah dari ketentuan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Fakta ini, kemudian mengungkit keingintahuan kita; ketika ambang batas presiden dianggap melanggengkan praktik politik uang, lalu kenapa tetap dipertahankan? Lalu, siapa yang mengharuskan, dan apa tendensinya? Selain itu, apakah sudah tertutup peluang untuk memperbaikinya?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Prof Firman Noor (Kepala Pusat Penelitian LIPI); Sekarwati (Wasekjen Partai Golkar); dan Dr Jimmy Usfunan (Ahli Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar). (her/andi odang)

Dengarkan podcast diskusinya:

Artikel sebelumnyaWacana Lockdown Butuh Banyak Pertimbangan Matang
Artikel selanjutnyaMengenal Kopi Gunung Tambora dari Dompu NTB bersama Yani Aryanto