Ketika Pimpinan KPK Mengabaikan Presiden Perihal Kepegawaian, Upaya Apa Lagi yang Bisa Dilakukan?

Firli Bahuri
Firli Bahuri, Ketua KPK .

Semarang, Idola 92.6 FM – Bulan Mei sepertinya akan selalu menjadi salah satu bulan penting yang akan dicatat dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Mei tahun ini, jika tak ada upaya penyelamatan, niscaya akan dicatat dalam sejarah sebagai bulan kelam bagi upaya pemberantasan korupsi.

Dahulu, Mei menjadi saksi satu perjalanan penting bangsa ini lewat peristiwa reformasi. Kini, 23 tahun berselang, Mei menyaksikan KPK yang tak lain merupakan anak kandung reformasi semakin tak berdaya. Institusi KPK memang akan tetap ada—namun seolah hanya tinggal nama saja–ruhnya entah di mana.

Dalam beberapa hari terakhir, civil society, hingga pegiat antikorupsi terus menyuarakan perlunya Presiden turun tangan dalam penyelamatan KPK. Sejumlah tokoh nasional dan akademikus menuntut ketegasan Presiden Jokowi dalam hal alih status pegawai KPK menjadi ASN. Menurut mereka, ketidaktegasan Jokowi yang hanya mengimbau agar tes wawasan kebangsaan tidak dijadikan alasan pemecatan, membuat pimpinan KPK tetap menyingkirkan 51 pegawainya, termasuk para penyidik yang selama ini kerap menangani kasus besar korupsi.

Publik kini menanti kembali respons Presiden Joko Widodo setelah arahannya terkait proses alih status pegawai KPK menjadi ASN—yang merupakan amanat UU KPK, dianggap diabaikan.

Tak hanya meminta penjelasan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam tes wawasan kebangsaan, Presiden selaku pembina ASN juga dapat mengintervensi proses alih status pegawai KPK. Permintaan penjelasan mesti dilakukan karena KPK, Badan Kepegawaian Negara, Kemenkum-ham serta Kemenpan-RB Selasa lalu telah memutuskan untuk memberhentikan 51 dari 75 pegawai KPK yang tak memenuhi syarat tes wawasan kebangsaan. Padahal, sebelumnya, Presiden sudah mengingatkan bahwa hasil tes wawasan kebangsaan tidak serta merta bisa dijadikan dasar memberhentikan pegawai KPK.

Lantas, ketika pimpinan KPK mengabaikan imbauan Presiden Joko Widodo perihal persoalan kepegawaian, upaya apa lagi yang bisa dilakukan? Masihkah ada celah dalam upaya penyelamatan KPK? Jika situasinya demikian, lalu bagaimana masa depan pemberantasan korupsi?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Prof Abdul Mu’ti (Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah); Aan Eko Widiarto (Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang), dan Bivitri Susanti (Ahli Hukum Tata Negara/ salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia). (her/yes/ao)

Dengarkan podcast diskusinya: