Semarang, Idola 92.6 FM – Di dunia manajemen ada ilustrasi, kalau visi atau tujuan perusahaan anda adalah memanjat, mana yg akan anda rekrut: tupai, atau kuda?

Khalayak umum tentunya mafhum jawaban pertanyaan itu—yakni tupai. Karena memang kemahiran memanjat dimiliki oleh tupai ketimbang kuda. Sebaliknya, kalau kita menjawab kuda, tentu saja tak akan ada relevansinya. Sebab, kuda identik dengan ketangguhan, kekuatan, dan kecepatan berlari.

Persoalan relevansi kemahiran, keahlian, dan profesionalisme atas sebuah profesi ini dalam beberapa waktu terakhir menyita perhatian publik. Hal itu dipicu polemik mengenai kelanjutan nasib 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat asesmen alih profesi menjadi ASN. Hal itu berdasarkan tes wawasan kebangsaan mereka tak lolos. Sehingga, ke depan, masa depan mereka pun tak tentu, apakah tetap lanjut menjadi pegawai KPK atau diberhentikan KPK dan diserahkan ke Badan Kepegawaian Negara (BKN)?

Sejumlah pihak menilai, pemberhentian pegawai KPK bukan solusi. Pegawai KPK yang tak memenuhi syarat hasil tes wawasan kebangsaan semestinya tak diberhentikan. Penguatan wawasan kebangsaan bisa menjadi solusi. Apalagi, keahlian dan relevansi yang dibutuhkan pegawai KPK sejatinya bukan dalam wawasan kebangsaan, namun dalam bidang hukum—khususnya penindakan kasus korupsi, investigasi, penyidikan, hingga penyelidikan.

Sebelumnya, pengumuman KPK terkait 75 pegawainya yang tak lulus asesmen sempat menuai kritik. Sejumlah pihak menuding tes wawasan kebangsaan yang menjadi bagian dalam proses asesmen, merupakan upaya untuk mendepak sejumlah orang di internal lembaga antirasuah. Meski demikian, Ketua KPK Firli Bahuri tegas membantahnya.

Lantas, menakar relevansi tes wawasan kebangsaan pegawai KPK, kenapa bukan integritas yang diutamakan? Di balik ini semua, benarkah dugaan yang menyatakan bahwa ini semua adalah upaya melemahkan KPK dengan mendepak sejumlah orang di internal KPK?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Azmi Syahputra ( Pengamat hukum Universitas Bung Karno/ Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (ALPHA)); Oce Madril (Ahli Hukum Tata Negara/ Aktivis anti-korupsi Pukat Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta); Julius Ibrani (Anggota Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi), dan Taufik Basari (Anggota Komisi III DPR dari fraksi Nasdem). (her/yes/ao)

Dengarkan podcast diskusinya: