Mendorong Pengembalian UU KPK Lama, Apa Saja Hambatannya?

KPKorup
images/mediaindonesia

Semarang, Idola 92.6 FM – Berbagai upaya sejak dua tahun lalu dilakukan mahasiswa dan pegiat antikorupsi untuk menuntut pembatalan revisi UU KPK. Mulai dari turun ke jalan mengusung Mosi Tidak Percaya hingga menuntut Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu untuk membatalkan revisi UU KPK. Namun, berbagai upaya itu masih belum membuahkan hasil.

Kini, perjuangan untuk mengembalikan UU KPK lama masih ada secercah harapan, yakni melalui mekanisme judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). MK hari ini rencananya akan membacakan putusan uji konstitusionalitas terhadap UU No 19 tahun 2019 tentang KPK atau revisi Undang-Undang KPK.

Menyongsong putusan MK tersebut, sejumlah guru besar mendorong Undang-Undang KPK dikembalikan ke Undang-Undang KPK yang lama. Sebanyak 69 guru besar dari sejumlah kampus meminta MK membatalkan UU KPK hasil revisi. Hal itu dituangkan dengan menandatangani surat permohonan pembatalan pengundangan UU KPK hasil revisi. Karena, undang-Undang tersebut dinilai melemahkan pemberantasan korupsi. Pendekatan pencegahan dalam pemberantasan korupsi yang diatur UU dinilai mengakibatkan keseriusan dalam pemberantasan korupsi diragukan.

Beberapa guru besar yang terlibat dalam gerakan pembatalan pengundangan UU KPK hasil revisi itu antara lain: Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, Guru Besar FH UGM Sigit Riyanto, Guru Besar FH UI Sulistyowati Irianto, dan Guru besar Fakultas Kehutanan IPB University Bambang Hero Saharjo.

Lantas, mendorong pengembalian UU KPK Lama; apa saja hambatannya? Cukup efektifkah upaya desakan moral atau dorongan civil society agar MK membatalkan sejumlah pasal bermasalah dalam UU KPK?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Prof Sigit Riyanto ( Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta); Bivitri Susanti (Ahli Hukum Tata Negara/ salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia); dan Kurnia Ramadhana (aktivis ICW). (her/yes/ao)

Dengarkan podcast diskusinya: