Memaknai Hasil Putusan MK atas Judicial Review UU KPK dan Implikasinya

KPK
image/kataindonesia

Semarang, Idola 92.6 FM – Mahkamah Konstitusi (MK) Selasa (04/05) lalu menolak permohonan uji formil Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Uji formil ini diajukan antara lain oleh sejumlah mantan pimpinan KPK yaitu Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang.

MK menilai, dalil para pemohon yang mengatakan bahwa revisi UU KPKmelanggar prosedur perundang-undangan tidak terbukti. Terkait dalil revisi UU KPK diubah secara terselubung, MK juga menilai tidak beralasan.

Putusan MK tersebut tidak dicapai secara bulat. Hakim konstitusi Wahiduddin Adams memberikan pendapat berbeda atau dissenting opinion. Wahiduddin menilai, proses revisi tidak dilakukan dengan baik. Meski idenya sudah lama. Ia menilai, proses akhir dilakukan secara cepat dan tidak memenuhi prinsip Undang-Undang yang baik.

RIP KPK
R.I.P KPK. (image/narasitv)

Meski demikian, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materiil sejumlah norma di dalam UU itu, terutama terkait izin penyadapan, penggeledehan, dan penyitaan. Dalam pertimbangannya, MK menyebutkan, KPK tidak perlu lagi meminta izin kepada Dewan Pengawas jika akan melakukan penyadapan, penggeledehan dan penyitaan.

MK menilai, Dewas bukan lembaga yudisial sehingga tak berwenang memberikan izin untuk tindakan pro justisia seperti penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Selain itu, salah satu keputusan MK yakni kewenangan KPK dalam menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) untuk perkara yang tidak selesai dalam waktu dua tahun.

Lantas, memaknai hasil putusan MK atas judicial review UU KPK—apa implikasinya?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber Ahli Hukum Tata Negara Universitas Andalas Padang, Feri Amsari, M.H. (her/yes/ao)

Dengarkan podcast diskusinya: