Menggugat Kembali Ambang Batas Presiden

Ilustrasi/Istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Menyongsong Pemilu 2024 yang tinggal 3 tahun lagi, sejumlah politisi, parpol, hingga tokoh mulai berancang-ancang bergerak, menyiapkan diri. Salah satu upaya yang dilakukan itu yakni menggugat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen.

Aturan yang tertuang dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu atau UU Pemilu digugat sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi. Alasannya, syarat pasangan calon presiden dan wakil presiden harus diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR membatasi tiap warga negara untuk maju.

Perkembangan terkini, hingga Selasa 14 Desember 2021, ada sekurangnya 3 pihak yang mendaftarkan permohonan uji materi pasal 222 UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Pertama, diajukan oleh Wakil Ketua Umum partai Gerindra Ferry Joko Juliantono. Kedua, anggota DPD Bustami Zainudin dan Fachrul Razi, dan ketiga, Mantan Panglima TNI Jenderal (purn) Gatot Nurmantyo. Pengacara Refly Harun menjadi kuasa hukum dari tiga permohonan penghapusan pasal ambang batas pencalonan presiden tersebut.

Gatot beralasan, presidential threshold merugikan pemilih karena kandidat-kandidat terbaik bangsa terhalang pencalonannya. Selain itu, Gatot menilai syarat itu menimbulkan potensi politik transaksional.

Sementara itu, Ferry menilai, ambang batas pencalonan presiden menabrak prinsip perlakuan yang sama terhadap partai politik. Dia berpendapat aturan itu membuat jabatan presiden hanya bisa diakses oleh oligarki.

Sebelumnya kita ketahui, pasal 222 UU Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden sering digugat ke Mahkamah Konstitusi. Setidaknya ada 13 gugatan terhadap pasal itu sejak UU Pemilu disahkan 2017. Meski begitu, belum ada satu pun gugatan yang dikabulkan MK.

Lantas, menggugat kembali ambang batas presiden (presidential threshold); kenapa mesti dipertahankan? Adanya ambang batas presiden sebenarnya untuk membatasi dari kemungkinan apa? Bukankah, semakin terbuka akan semakin memunculkan putra terbaik bangsa? Lalu, kekawatiran apa yang mendasari presidential threshold tetep kekeuh dipertahankan?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, kami nanti akan berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Dr Herlambang P. Wiratraman (Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta; Prof Siti Zuhro (Peneliti Politik dari Pusat Riset Politik (Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indonesia); dan Achmad Baidowi (Ketua DPP PPP). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: