Menyoroti Anggaran Penanganan Kemiskinan yang Justru Tak Terserap ke Rakyat Miskin

ilustrasi
ilustrasi/istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Kemiskinan hingga saat ini masih menjadi salah satu persoalan negara yang masih belum bisa dituntaskan. Padahal, hal itu merupakan salah satu Amanah konstitusi—di mana negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum.

Terkini, berdasarkan BPS, persentase penduduk miskin pada September 2022 sebesar 9,57 persen atau meningkat 0,03 persen poin dibanding Maret 2022; dan turun 0,14 persen poin dibanding September 2021. Jumlah penduduk miskin pada September 2022 sebesar 26,36 juta orang atau meningkat 0,20 juta orang dibanding Maret 2022.

Berbagai strategi sebenarnya telah dilakukan Pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan, mulai dari perlindungan terhadap keluarga dan kelompok masyarakat yang mengalami kemiskinan sementara hingga membantu masyarakat yang mengalami kemiskinan kronis dengan memberdayakan dan mencegah terjadinya kemiskinan baru.

Pada implementasinya, kebijakan yang ditopang dengan politik anggaran, belum berbanding lurus dengan hasil yang diharapkan. Besaran anggaran, justru masih belum tepat sasaran. Hal itu baru-baru ini diungkapkan oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Abdullah Azwar Anas. Menurutnya, anggaran penanganan kemiskinan yang hampir mencapai Rp500 triliun justru tak terserap ke rakyat miskin. Anggaran itu, hanya habis buat membiayai kegiatan rapat dan studi banding di hotel oleh berbagai kegiatan kementerian dan lembaga.

Terkini, MenPAN-RB meluruskan isu tersebut. Anas menjelaskan tidak semua anggaran dimaksud digunakan untuk rapat dan studi banding saja. Setelah pihaknya memilah, ada sejumlah instansi terutama di beberapa daerah, yang program kemiskinannya belum sepenuhnya berdampak optimal.

Lantas, atas temuan MenPAN-RB tersebut, bagaimana bisa, biaya merumuskannya justru menghabiskan biaya yang mestinya cukup digunakan untuk memberi bantuan orang miskin? Bukankah ini seperti terlalu besar prosesi dibanding isi dan substansi? Selain itu, kenapa hal itu baru diketahui setelah terjadi? Apakah tidak ada pengawasan dan supervisi pada saat mulai digagas?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan sejumlah narasumber, antara lain: Prof Wahyudi Kumorotomo (Pakar Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta), Misbah Hasan (Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA)), dan Ahmad Heri Firdaus (Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: