Menyoroti Gagasan Pemilu Hybrid, Bagaimana Substansi Gagasan dan Kepatutan Hakim MK Mewacanakannya?

Hakim Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat.
Hakim Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat. (Photo/Istimewa)

Semarang, Idola 92.6 FM – Pada saat publik menunggu hasil sidang MK perihal sistem proporsional tertutup yang diusulkan agar bisa diterapkan pada Pemilu 2024, muncul wacana sistem pemilu Hybrid. Hal itu dilontarkan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat. Gagasan itu muncul, merespons pro-kontra tentang Sistem Proporsional tertutup dan Sistem Proporsional Terbuka dalam Pemilu 2024.

Gagasan itu pun menuai polemik. Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengkritik pernyataan hakim konstitusi Arief Hidayat yang mewacanakan sistem Pemilu hybrid. Menurutnya, pernyataan itu tidak sejalan dengan tugas pokok dan fungsi hakim konstitusi, yakni sebagai pihak yang menguji konstitusionalitas norma.

Tugas MK itu adalah memutus apakah norma yang sedang diuji, apakah bertentangan dengan UUD NRI 1945 atau tidak. Atau dengan kata lain, menguji konstitusionalitas suatu norma. Bukan malah membuat wacana sistem yang tidak ditanyakan, yaitu hybrid yang mengakomodasi sistem terbuka untuk memilih calon presiden dan anggota DPD, dan tertutup untuk pemilu legislative.

Lantas, menyoroti gagasan Pemilu hybrid: bagaimana substansi gagasan ini sendiri serta kepatutan hakim MK yang mewacanakannya?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, yakni: Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid dan Peneliti di Pusat Riset Politik – Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP – BRIN), Wasisto Raharjo Jati. (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya: