Semarang, Idola 92.6 FM-Di era digital sekarang ini, salah satu yang tak pernah lekang adalah derasnya arus informasi dan di dalamnya, terselip pula hoaks atau informasi bohong yang terus bertebaran. Padahal, biasanya tren penyebaran hoaks meningkat menjelang tahun politik. Namun menariknya, bahkan di awal masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, angka penyebaran hoaks justru masih tinggi.
Data dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) menunjukkan, dalam satu tahun pertama pemerintahan ini—mulai 21 Oktober 2024 hingga 17 Oktober 2025—tercatat 1.593 hoaks yang diverifikasi oleh Mafindo.
Sementara itu, Kementerian Digital dan Komunikasi (Komdigi) melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Ruang Digital juga menemukan angka yang tak jauh berbeda: 1.674 hoaks dalam periode serupa. Puncaknya terjadi pada bulan Juli 2025, dengan ratusan hoaks tersebar di berbagai platform digital.
Lalu, kita pun bertanya-tanya, mengapa hoaks masih begitu mudah beredar, bahkan di luar momentum politik besar? Apa yang membuat masyarakat kita masih mudah percaya dan menyebarkannya? Dan lebih penting lagi — apa langkah konkret untuk menangkal hoaks, terutama di media sosial kita sehari-hari?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, yakni: Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho dan Dosen Prodi Informasi dan Humas Sekolah Vokasi Universitas Diponegoro Semarang serta Anggota Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi), Dr. Dra. Liliek Budiastuti Wiratmo, MSi. (her/yes/dav)
Simak podcast diskusinya:










